Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Hasil quick count pemilu memberi informasi kita semua. Anomali.
Calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung PDIP perolehan suaranya jeblok. Padahal perolehan suara partainya masih relatif tinggi.
Kasus serupa terjadi pada PKB. Perolehan suara partai relatif tinggi. Perolehan suara capresnya jeblok. Tidak bisa masuk putaran kedua.
Dua kasus di atas mencerminkan karakter pemilih cerdas. Tidak mencerminkan karakter pemilih ikut-ikutan. Masyarakat bisa memilih dua pilihan dengan latar belakang agenda politik yang berbeda. Pada saat bersamaan.
Pilihan terhadap partai belum tentu mencerminkan pilihannya terhadap capres yang diusung partai. Karakter pemilih seperti ini membuyarkan asumsi selama ini. Pergeseran-pergeseran suara pemilih disebabkan oleh intimidasi politik dan guyuran bantuan sosial.
Jika asumsi itu benar (intimidasi politik dan guyuran bansos), pilihan politik masyarakat akan relatif homogen. Tidak terjadi anomali.
Sedangkan bukti menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Ada perbedaan antara pilihan terhadap partai dengan pilihan capres yang diusung partai.
Bagaimana menjelaskan anomali itu. Kita hanya berasumsi dari gejala-gejala yang muncul sebelumnya. Belum tersedia data kuantitatif yang menjelaskan kenapa terjadi anomali.
Kasus PKB berbeda dengan kasus PDIP. Masing-masing dilatari karakter idiologi dan problem internalnya.
Koalisi AMIN merupakan perkawinan politik dari sekian banyak karakter idiologis yang berbeda. Khususnya Islam kanan dan Islam moderat dengan segala variannya. Satu hal yang sebenarnya sulit terjadi.
Sementara tuntutan politik mengharuskan untuk koalisi.
Arus bawah PKB, tampak masih bergejolak. Masih tertanam kesadaran agar warga NU tidak dijadikan sebagai alat perlindungan bagi eksistensi kelompok kanan. Terutama kelompok kanan radikal.
Memenangkan paket AMIN sama saja “menggendong” kelompok ekstrim kanan kedalam pusaran kekuasaan pemerintah. PKB hanya dijadikan kuda troya belaka. Terdapat sejumlah pemikiran seperti itu.
Oleh karena itu warga PKB membuat dua pilihan. Keselamatan partai menjadi prioritas. Sedangkan capres-cawapres AMIN bukan pilihan prioritas.
Bagi Cak Imin, pencawapresannya merupakan arena, panggung, membesarkan partai. Ia sadar untuk memenangkan kontestasi merupakan jalan terjal. Perlu biaya tinggi.
Ia juga sadar arus bawah partainya masih bergolak. Tidak rela atas perkawinan politik itu.
Sebagai cawapres, Cak Imin memiliki banyak even untuk konsolidasi partai. Menumpang agenda kampanye pilpres untuk konsolidasi internal partainya.
Bagaimana dengan PDIP?. Tentu beda permasalahannya dengan PKB.
Pemegang saham tunggal PDIP, keluarga Presiden Soekarno, sejatinya menginginkan Puan Maharani dalam kontestasi pilpres 2024. Setidaknya cawapres.
Tapi keluarga ini diintimidasi oleh survei. Oleh putusan rakyat yang tercermin dari hasil survei.
Ganjar elektabilitasnya tidak tertandingi. Walaupun elektabilitas itu juga meminjam dari Presiden Jokowi.
Keluarga Bung Karno akhinya berdamai dengan ilusi keputusan rakyat itu. Tentu keluarga Bung Karno tidak ingin dituding melawan Keputusan rakyat.
Perkembangan lain, Presiden Jokowi terpaksa menemukan pasangan dansanya sendiri. Ia tidak diajak dansa dalam paket capres-cawapres pilihan PDIP.
Ternyata berdampak signifikan. Suara Ganjar tergerus. Tapi sudah terlanjur pencalonan resmi.
Massa pendukung PDIP ikut Presiden Jokowi berdansa. Orang yang sudah berjasa pada PDIP pada dua kali periode sebelumnya.
Massa PDIP tidak serius mendukung capres-cawapres yang disusung PDIP. Karena pasangan itu sebenarnya tidak direstui oleh pemegang saham partai. Juga oleh pecinta Jokowi.
Menilik kemungkinan-kemungkinan itu, anomali perolehan suara capres dan partai dimungkinkan oleh dinamika internal partai itu sendiri. Bukan sebagaimana glorifikasi isu selama ini. Intimidasi dan guyuran bansos.
Tentu sodoran-sodoran kemungkinan ini tidak menutup kemungkinan-kemungkinan lain. Hal pasti rakyat telah membuat keputusan. Harus kita hormati. Keputusan rakyat tidak boleh diingkari.
ARS (rohmanfth@gmail.com), 16-02-2024