Sementara tak ada tempat dan waktu bagi tafsir nasionalisme yang lain, terlebih bagi Islam yang selalu marginal yang sejatinya menjabarkan peradaban manusia dan dunia, lebih dari sekedar nasionalisme dan internasionalisme.
Saatnya, rakyat membuka mata dan hati, saatnya bangsa ini sadar dari ‘koma’ panjang. Bahwasanya nasionalisme Indonesia telah mengalami kebangkrutan dan kegagalan. Soekarno dengan ideologi Marhaenis boleh jadi sangat baik dalam pemikiran tapi boleh jadi sangat buruk dalam implementasinya.
Secara historis dan empiris, terbukti tidak menjadi obat bagi persoalan peradaban manusia dan kehidupan dunia, khususnya bsgi rakyat, negara dan bangsa Indonesia.
Satu lagi hal yang paling mendasar, pentingnya memudakan pengertian nasionalisme yang lebih sederhana, segar dan menyehatkan bagi kesadaran ideologi dan politik di bumi nusantara ini.
Harus ada pengertian dan toleransi bagi semua anak bangsa, terutama para pelaku politik dan pemangku kepentingan publik. Persefrktif ideologi dan kebangsaan tidak boleh dipaksakan seolah-olah nasionalisme itu hanya berasal dan bersumber dari pemikiran atau ideologi Soekarno.
Hanya PDIP sebagai pewaris dan yang paling Seoekarnois. Termasuk tidak sempit dan picik mengaggap orang-orang Soekarnois itu mutlak paling nasionalis, atau sebaliknya yang nasionalis itu selalu harus Soekarnois.
Terlebih ketika euforia Soekarnoisme melalui geliat PDIP justru pada prakteknya menimbulkan keterputukan bangsa. Ya, dengan situasi dan kondisi rakyat, negara dan bangsa Indonesia sekarang ini.
Bisa dibilang determinasi ideologi Soekarnoisme justru berujung anti klimaks.
Catatan dari pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Bekasi Kota Patriot.
20 Oktober 2022/23 Rabi’ul Awal 1444 H.