Cemas dan ketakutan akan dunia menjadi hantu yang nyata. Mengabaikan sejatinya orientasi dan relasi sosial dan trasedental. Faktor ini boleh jadi membuat kehidupan rakyat memiliki disparitas yang timpang dengan keberadaban. Beragama tapi sepi dari kehadiran Ilahi.
Di republik yang diklaim sebagai buminya Panca Sila dan Adab ketimuran. Kemanusian dan Ketuhanan begitu porak-poranda mengiringi kehidupan rakyatnya.
Kata dan tindakan tak lagi sejalan dan harmonis. Kemudharatan terlau kuat mengungguli kemaslahatan. Kedzoliman tumbuh subur di lahan kebenaran yang tandus.
Banyak penguasa yang ingin menggantikan peran Tuhan. Begitu angkuh, sombong dan arogan pada sesamanya yang lemah, namun begitu ramah dan hangat pada kejahatan.
Rakyat sejatinya memang hanya bisa berharap pada pertolongan Tuhan, meski tak tahu kapan waktunya dan seperti apa solusiNya.
Mungkin tak semudah dan secepat yang dibayangkan rakyat. Tuhan seperti menunggu kemauan dan kesungguhan umatnya.
Bersiap pada keberanian yang mampu menghadapi rasa takut. Keyakinan tak melulu mengandalkan Tuhan untuk merubah nasib bangsanya sendiri. Rakyat sepertinya harus menerima kenyataan pahit jika ingin meraih kebenaran. Menempuh segala resiko meski kebenaran itu tak kunjung digenggamnya.
Meskipun demikian, agama telah memberi rambu-rambu yang mengarahkan jalan lurus. Meski berkelok-kelok dan kerapkali menemui jalan terjal, perjalanan tak boleh berhenti.
Pencerahan tak mustahil dijangkau , bagai matahari yang tak pernah lelah menyinari. Begitupun sang musafir menapaki jalan kebangsaan.
Haruskah rakyat Indonesia menyerah karena lelahnya mencapai tujuan?. Diselimuti badai pasir dan kerikil tajam, mungkinkah bangsa Indonesia terseret tenggelam ditelan bumi.
Akankah kesengsaraan dan nestapa terus menghinggapi negeri?. Apakah rakyat harus selamanya diam dan pasrah menerima keadaan?.
Biarlah proses yang menjelaskan dan sejarah yang akan menoreh catatannya.
Penulis adalah
Aktifis 98 dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Periode 1996-1997.