JAKARTA – Hingga 31 Agustus 2025, pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah mencapai Rp425,7 triliun alias 69,1 persen dari target Rp662 triliun.
Artinya, target tinggal 30 persenan lagi. Kalau ini lomba marathon, pemerintah sudah di kilometer 30, tinggal tunggu “water station” utang berikutnya.
“Dari total itu, pembiayaan utang mencapai Rp463,7 triliun atau 59,8 persen target APBN. Sedangkan pembiayaan non-utang malah minus Rp38 triliun alias 23,8 persen,” jelas Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Thomas Djiwandono dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (22/9).
Bahasa sederhananya, utang jalan terus, non-utang malah ngos-ngosan. Jadi kalau ada yang masih bilang Indonesia bisa bebas dari utang, itu sama saja percaya diet bisa berhasil kalau tiap malam ngemil martabak.
Sementara itu, sisi pasar Surat Berharga Negara (SBN), Thomas pamer performa lelang yang katanya masih “seksi.” Bid to cover ratio tembus 3,03 untuk SUN dan 3,15 untuk SBSN. Itu artinya, tiap kali pemerintah buka lapak jualan surat utang, investor rebutan kaya flash sale iPhone baru.
Kenapa? Salah satunya karena Indonesia masih pegang status investment grade. Jadi, meski dunia lagi gonjang-ganjing, investor asing tetap melihat SBN kita ibarat rumah kontrakan murah di tengah kota—risiko ada, tapi cuannya lumayan.
Sedangkan, Yield SBN tenor 10 tahun turun 70 basis poin sejak awal tahun, alias sekitar 10 persen. Spread SBN 10 tahun terhadap US Treasury menyusut ke 216 basis poin, lebih rendah dari sejumlah negara tetangga. Ditambah lagi, capital inflow asing sudah Rp42,61 triliun per September 2025.
Thomas bilang ini bukti kepercayaan investor. Tapi kalau dibaca satir: “Asing makin yakin, rakyat makin ngutang.”
Tak melulu bayar bunga, pemerintah juga pakai utang untuk pembiayaan investasi (below the line) sebesar Rp42,7 triliun.
Rp18,77 triliun untuk bikin 163.831 unit rumah (semoga bukan rumah “hantu proyek”).
Rp16,57 triliun untuk cadangan pangan via Bulog, hasilnya 488,9 ribu ton beras + 1,64 juta ton gabah.
Jadi kalau beras impor datang lagi, jangan kaget. Mungkin cadangannya masih di jalan.
APBN, kata Thomas, tetap jadi instrumen countercyclical dan shock absorber. Bahasa mudahnya, APBN itu seperti helm motor kalau jatuh, masih ada pelindung. Bedanya, helm ini dibeli pakai utang, dan cicilannya ditanggung rakyat sampai anak-cucu.
Kalau melihat laporan ini, satu hal jelas, APBN kita makin mirip kartu kredit platinum. Limit besar, bunga ditekan, investor suka, tapi cicilan tetap harus dibayar. Bedanya, cicilan bukan ditagih ke Thomas, tapi ke rakyat lewat pajak dan tarif ini-itu.
Dan kalau Thomas bilang pembiayaan “terkendali dan antisipatif,” itu sama saja dokter bilang pasien “masih stabil” padahal infusnya utang semua.***