JAKARTA – Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, meminta Polri tak gampang meminta ditangkap atas anggota TNI AD Ruslan Buton yang diringkus karena meminta Presiden Jokowi meminta bantuan video yang disebut viral.
Ia menjawab tindak pidana yang bukan merupakan tindak kekerasan yang bisa ditindaklanjuti dengan mengandalkan pasal UU ITE atau KUHP. Selain itu, kasus ujaran Ruslan Buton di media sosial ini tidak ada yang membuktikan masyarakat terprovokasi untuk melakukan makar terhadap Presiden Jokowi.
Anggota komisi hukum DPR ini menjelaskan penggunaan beberapa pasal dalam UU ITE, seperti Pasal 27 dan Pasal 28 serta KUHP seperti Pasal 207, Pasal 310 dan 31 yang biasa menjadi landasan Polri yang menindak provokator di media sosial yang terkait dengan laporan yang diajukan.
“Pasal-pasal ini adalah pasal” karet “yang dapat ditafsirkan (multi tafsir atau penafsirannya terbuka),” katanya dalam keterangan tertulis kepada TeropongSenayan, Ahad, 31 Mei 2020.
Karena itu, lanjut Arsul, tidak tepat jika Polri melakukan proses hukum dengan langsung melakukan upaya seperti penangkapan dan penahanan.
Selain soal apa yang disampaikan oleh pelakunya yang tak terduga di ruang publik atau medsos belum memunculkan pertimbangan atau tidak terkait dengan perjuangan lain seperti mengangkat senjata atau memberontak terhadap pemerintah.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini menuturkan, Polisi melaporkan melakukan penyelidikan tentang apa yang terucap atau ditulis oleh pihak yang terlibat. Namun, tidak sebaliknya jika hal tersebut bertentangan.
“Polisi harus meminta keterangan ahli dulu apakah yang diucapkan atau dikirim itu terindikasi tindak lanjut atas pasal hukuman tertentu atau tidak, tidak langsung bergerak begitu tahu apakah ucapan atau tulisan semacam itu,” jelasnya.
“Terlebih-lebih lagi jika diminta, seperti yang diputuskan sebelumnya,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa menangkap pelanggar hukum harus dilakukan dengan cara yang elegan. Caranya adalah dengan mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan ahli untuk kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Untuk itu, Arsul meminta Polri lebih berhati-hati dan meningkatkan standar karena proses hukum dalam melaksanakan kewenangannya, terutama dalam pertimbangan tindak kekerasan yang bukan pertentangan dengan perjuangan (jatras).
“Jangan sampai kerja-positif Polri dalam penindakan kejahatan yang mencemari masyarakat terciderai oleh perjuangan melawan terhadap dugaan tindak pidana berdasar pasal-pasal karet di atas,” tandasnya.(TPG)