TANGGAMUS – Dinding retak, atap rapuh, dan tiang kayu lapuk. Itulah “pemandangan harian” di SD Negeri 1 Karang Anyar, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Bangunan sekolah dasar ini nyaris roboh, tapi ajaibnya kegiatan belajar masih berjalan.
Daerah dengan tagline “Jalan Lurus” itu, para guru mengajar sambil berdoa. Bukan agar murid cepat paham pelajaran, melainkan supaya atap asbes di atas kepala mereka tak jatuh lebih cepat dari semangat mengajar.
Pertanyaan tentunya muncul, bagaimana alokasi untuk pendidikan di wilayah setempat. Para pejabat dan anggota dewan sibuk kunjungan kerja menghambur uang daerah padahal banyak bangunan sekolah membutuhkan perhatian.
Sementara tiga ruang kelas yang digunakan siswa kelas I, II, dan III kini lebih mirip rumah peninggalan zaman kolonial ketimbang tempat menimba ilmu. Dindingnya penuh retakan seperti peta jalur longsor, atap asbes tua menggantung lesu, dan balok kayu penyangga tampak menyerah pada usia.
“Kalau sedang hujan, kami deg-degan bukan karena petir, tapi karena takut atap ikut menyapa dari atas,” ujar salah satu guru sambil tersenyum kecut.
Ia seolah menggambarkan jika suasana belajar di SDN Karang Anyar yang dipimpin mantan politikus Jabodetabek itu, bukan hanya penuh semangat, tapi juga penuh risiko.
Namun di balik senyum itu, tersimpan rasa waswas. Para guru tetap mengajar dengan semangat entah antara dedikasi atau keberanian tingkat dewa.
Kepala Sekolah Sumiyati mengaku sudah berkali-kali berjuang lewat proposal perbaikan, tapi hasilnya nihil.
“Kami sudah berulang kali mengajukan ke Dinas Pendidikan Kabupaten, bahkan sampai provinsi. Tapi belum ada kabar baik, yang datang hanya angin lewat,” ujarnya getir.
Ia berharap pemerintah mau turun langsung meninjau kondisi sekolah. “Kami tidak menuntut bangunan megah, cukup yang layak dan aman untuk anak-anak belajar. Kalau tidak, mungkin nanti kami harus ajar di bawah pohon, sekalian praktek pelajaran IPA tentang fotosintesis,” selorohnya, mencoba menertawakan nasib.
SDN 1 Karang Anyar kini menjadi potret getir pendidikan di pelosok negeri, di atas kertas semua anak berhak atas pendidikan yang layak, tapi di lapangan, hak itu kadang hanya tergantung di langit-langit asbes yang hampir jatuh.
Jika tak segera diperbaiki, bukan hanya gedungnya yang akan ambruk — tapi juga semangat para guru yang selama ini masih kokoh berdiri di antara reruntuhan harapan.
SDN 1 Karang Anyar adalah potret kecil dari ironi besar: negara terus berbicara soal mutu pendidikan, sementara di pelosok, anak-anak belajar di ruang yang hampir menyerah pada usia.
Di antara tembok yang retak dan papan tulis yang pudar, para guru masih setia mengajar mungkin karena bagi mereka, robohnya atap bukan alasan untuk robohnya harapan.***















