JAKARTA – Nama Muhammad Aziz Wellang kembali jadi bahan obrolan warung kopi usai Tempo menerbitkan berita berjudul “Menteri Kehutanan Main Domino dengan Tersangka Pembalakan Liar” pada 6 September 2025.
Masalahnya, menurut Wellang, berita itu salah alamat. Ia merasa dicap “tersangka” padahal status hukum dirinya sudah lama gugur.
Lewat surat klarifikasi resmi yang beredar, Wellang menegaskan berita tersebut “tidak benar, menyesatkan, dan tidak berdasar hukum.” Surat itu bukan hanya ditujukan ke Tempo, tapi juga ke media lain yang ikut-ikutan mengutip tanpa filter.
“Tersangka? Sudah Di-SP3-in Kok”
Dalam suratnya, Wellang blak-blakan membeberkan kronologi. Ia merujuk Putusan Praperadilan No: 13/Pid.Pra/2023/PN.Jkt.Pst, yang menyatakan penetapan tersangka oleh penyidik Gakkum KLHK tidak sah.
Bahkan ia sudah kantongi Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dengan nomor S.01/ BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/02/2025, terbit 14 Februari 2025.
“Jadi kalau masih ada yang bilang saya tersangka, itu artinya nggak update. Fakta hukumnya jelas: kasus saya sudah ditutup,” tulis Wellang dalam klarifikasi.
Tempo Disentil: “Fakta Hukum Itu Gratis, Tinggal Cek”
Wellang menyayangkan Tempo tetap menurunkan berita yang menurutnya tidak sesuai fakta. Apalagi efeknya sudah viral dan berimbas ke nama baik dirinya serta keluarga.
“Fakta hukum ini seharusnya sudah diketahui Tempo sebelumnya,” sindirnya, seakan menyarankan redaksi untuk rajin cek database hukum sebelum ngetik judul.
Tak tanggung-tanggung, ia mengutip UU Pers No. 40/1999, Pasal 310 dan 311 KUHP soal pencemaran nama baik, hingga UU ITE No. 11/2008. Semua pasal itu digelarnya seperti kartu domino satu jatuh, bisa berderet panjang.
Ultimatum 2×24 Jam: Klarifikasi atau Lapor!
Wellang memberi Tempo waktu 2×24 jam untuk klarifikasi dan permohonan maaf terbuka. Kalau tidak, ia mengancam akan menempuh jalur hukum, baik pidana maupun perdata, plus melapor ke Dewan Pers.
“Besar harapan kami Tempo sebagai media yang menjunjung integritas jurnalistik akan mempertimbangkan permohonan ini secara objektif dan profesional,” tulisnya, menutup surat dengan gaya diplomatis tapi jelas nada ultimatum.
Kasus ini pada akhirnya membuka ironi: di negeri ini, status hukum bisa berubah cepat, tapi label “tersangka” kadang lebih lengket dari super glue. Media bisa khilaf, publik bisa salah kaprah, dan yang bersangkutan tentu merasa jadi korban framing.
Sementara itu, rakyat kebanyakan mungkin hanya geleng-geleng, main domino saja bisa bikin heboh satu negara.***












