JAKARTA – Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, kembali melempar wacana yang membuat banyak pihak menaikkan alis: kepala daerah dipilih DPRD. Dalihnya sederhana supaya nggak pusing-pusing.
Simpel. Mungkin terlalu simpel untuk urusan sebesar memilih pemimpin daerah.
“Kalau bisa Pilkada dipilih lewat DPRD saja,” kata Bahlil di Istora Senayan (5/12), disaksikan Presiden Prabowo, Wapres Gibran, dan para elite politik lain yang tampak khusyuk mendengar wacana yang dulu pernah bikin demonstrasi nasional.
Bahlil menyampaikan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait sistem pemilihan kepala daerah dijadwalkan mulai tahun depan.
Ia menegaskan bahwa seluruh proses akan melibatkan aspirasi berbagai pihak klaim standar yang biasanya disampaikan sebelum “aspirasi mana yang didengar” menjadi pertanyaan publik.
“Ini agar pembahasannya bisa komprehensif, hati-hati dan cermat, dengan melibatkan masukan yang luas. RUU ini harus melalui kajian yang mendalam,” ujarnya diplomatis.
Dalam kesempatan yang sama, Bahlil mengungkapkan kecemasannya terhadap potensi plot twist dari Mahkamah Konstitusi (MK) jika UU yang sudah disusun dengan rapi justru berubah di meja hakim.
“Sekalipun UU kita sudah kaji dengan baik, saya khawatir, jangan sampai UU sudah jadi, sampai di MK, MK membuat yang lain, bahkan bisa mengubah, bahkan bisa membuat norma baru lagi. Saya pikir, ini perlu kita kawal bersama agar persoalan ini kita lakukan dengan baik,” tukasnya.
Pesan ini terdengar seperti kode keras: proses legislasi bukan hanya soal parlemen, tapi juga soal siapa yang merasa paling berhak menafsirkan “kedaulatan rakyat”.
Wacana mengembalikan Pilkada ke DPRD tentu bukan isu kecil. Banyak pihak menilai sistem pemilihan langsung telah memberi ruang bagi partisipasi publik, meski tidak menutup masalah seperti biaya politik tinggi dan konflik horizontal.
Sebaliknya, pemilihan oleh DPRD dianggap lebih efisien, tetapi menyisakan kekhawatiran lama: lobi politik di ruang tertutup yang kerap lebih panas daripada ruang publik.
Dengan wacana ini, Golkar kembali menyalakan perdebatan klasik demokrasi Indonesia antara efisiensi, transparansi, dan siapa sebenarnya yang “tidak ingin pusing”.
Wacana boleh lama, argumen boleh diulang, tetapi ujungnya tetap sama: publik menunggu apakah ini perubahan untuk memperkuat demokrasi, atau sekadar cara elegan menghemat energi politik sambil menyerahkan nasib daerah ke tangan para anggota dewan yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari rakyat.***









