WAWAINEWS – Berkembangnya industri pengolahan perikanan menyisakan hasil samping (limbah) berupa tulang, kulit, sirip, kepala, sisik, jeroan, maupun cairan.
Limbah tersebut diperkirakan memiliki proporsi sekitar 30-40 persen dari total berat ikan, yang terdiri dari bagian kepala 12,0 persen, tulang 11,7 persen, sirip 3,4 persen, kulit 4,0 persen, duri 2,0 persen, dan isi perut atau jeroan 4,8 persen.
Namun siapa sangka, potensi limbah perikanan sangatlah besar, tetapi pemanfaatannya masih terbilang relatif kecil.
Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) sebagai unit eselon 1 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya mengembangkan riset dan inovasi dalam rangka mendukung beragam terobosan yang menjadi program prioritas yang digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, khususnya terkait dengan pengembangan budidaya perikanan untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan.
Sejak tahun 2021, BRSDM melalui Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) telah mengembangkan riset ‘Pemanfaatan Hasil Samping Industri Pengolahan Ikan Patin sebagai Bahan Produk Pangan dan Non Pangan’.
Plt. Kepala BRSDM, Kusdiantoro menjelaskan, umumnya proses pengolahan patin di Indonesia menghasilkan produk filet sekitar 35 persen. Sementara hasil samping dari proses pengolahan filet patin mencapai sekitar 65 persen seperti kepala, tulang ekor, daging belly, isi perut, lemak abdomen, kulit dan hasil perapian (trimming) masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Bagian-bagian ini bernilai jual rendah, bahkan hanya menjadi limbah, yang dapat menurunkan kesehatan lingkungan. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Tim Peneliti BBRP2BKP, menunjukkan kandungan lemak dari hasil samping tersebut bisa mencapai sekitar 30 persen sehingga dapat dijadikan sebagai sumber potensial minyak ikan.
“Minyak ikan dari hasil samping pengolahan patin mengandung asam lemak Omega 3 (EPA, DHA, Linolenat) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan suplemen pangan dikarenakan kandungan asam lemak esensialnya yang sangat baik bagi kesehatan tubuh. Minyak ikan membantu memelihara kesehatan jantung, mencegah penyumbatan pembuluh darah, menjaga kesehatan kulit hingga mengurangi gejala depresi dan alergi. Selain itu, padatan yang tersisa dari ekstraksi minyak ikan patin juga dapat digunakan sebagai ingredient pakan setelah diproses menjadi tepung ikan,” ungkap Kusdiantoro.
Tak hanya itu, dengan berbekal pengetahuan pengolahan limbah industri patin, Kepala BBRP2BKP, Hedi Indra Januar, menyampaikan bahwa UKM dapat menerapkan konsep ekonomi biru dalam proses produksinya untuk mengatasi masalah lingkungan, sekaligus meningkatkan pendapatan dari nilai tambah dari pengolahan limbah tersebut, dan sebagai koridor inisiasi untuk program prioritas pengembangan kampung budidaya perikanan.
Peneliti BBRP2BKP, Ema Hastarini, mengatakan bahwa minyak ikan patin yang diekstrak dari hasil samping pengolahan ini memiliki profil asam lemak jenuh sebesar 48,84 persen dan asam lemak tak jenuh sebesar 51,16 persen serta menjadikannya sebagai sumber energi dan asam lemak esensial yang cukup tinggi. Sementara tepung ikan yang dihasilkan merupakan sumber protein dan asam amino dengan kadar protein mencapai 40,90 persen hingga 74, 06 persen.
Hingga kini, teknologi hasil riset pemanfaatan hasil samping industri patin pun telah didiseminasikan kepada 30 UKM, pembudidaya, dosen Politeknik AUP Dumai, dan penyuluh Perikanan di Desa Koto Mesjid, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Di mana Desa Koto Mesjid merupakan salah satu kampung budidaya patin yang produksinya bisa mencapai 360 hingga 400 ton per bulan.
Inovasi teknologi hasil riset berupa prototipe alat pengolahan minyak dan tepung ikan juga telah diserahkan kepada Politeknik AUP Dumai, dengan harapan dapat mendukung teaching factory yang dikembangkan oleh Politeknik AUP untuk menciptakan lulusan yang siap pakai dan berdaya saing di dunia kerja nantinya.
Patin (Pangasius hypophthalmus) sendiri merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya strategis di Indonesia. Peluang ekspor yang masih terbuka lebar menjadi alasan KKP memacu budidaya patin melalui pembangunan kampung-kampung budidaya berbasis potensi dan kearifan lokal. Upaya ini membuahkan hasil. Pada 2020, jumlah produksi patin di Indonesia mencapai 408.539 ton, meningkat dari jumlah 391.151 ton di tahun 2018.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, peran riset dan inovasi teknologi sangat penting dalam upaya membangun sektor kelautan dan perikanan Indonesia menjadi lebih modern dan produktif. Pihaknya pun meminta jajarannya di KKP untuk dapat memperkuat peran riset dan inovasi teknologi.
Penguatan riset dan penerapan teknologi secara masif juga mampu mendongkrak jumlah dan kualitas produksi kelautan dan perikanan dengan tetap menjaga lingkungan lestari. Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk memperkuat riset maupun inovasi teknologi di bidang kelautan dan perikanan, menurutnya melalui kolaborasi intensif dengan lembaga maupun instansi lainnya.(**)