JAKARTA — Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengusulkan agar kampanye melalui media elektronik tidak lagi dicantumkan dalam perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke depan.
Usulan ini muncul setelah Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 meninggalkan satu fakta pahit: politik semakin mahal, sementara demokrasi makin ngos-ngosan.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menilai, beban dana kampanye dan biaya kontestasi telah menjadi “olahraga ekstrem” yang tak semua kandidat mampu mengikutinya. Dalam praktiknya, kampanye di media elektronik justru berubah dari sarana edukasi politik menjadi arena adu tebal dompet.
“Pasca Pemilu dan Pilkada 2024, kami melihat ada persoalan serius terkait pembiayaan politik. Bebannya terlalu berat bagi calon,” ujar Bagja, Minggu (21/12/2025), sebagaimana dilansir Wawai News.
Bagja menangkap apa yang ia sebut sebagai “kebatinan politisi” sebuah istilah halus untuk menggambarkan kegelisahan para kandidat yang sadar bahwa menang pemilu kini bukan soal gagasan, tapi soal anggaran.
Dari situ, muncul dorongan agar pembiayaan politik ke depan dibuat lebih efisien, atau setidaknya lebih manusiawi bagi dompet para calon.
“Pengaturan ke depan tentu diserahkan kepada pemerintah dan DPR. Namun kami akan mengusulkan beberapa hal untuk memperbaiki aturan kampanye,” kata Bagja.
Menurutnya, perkembangan teknologi dan perilaku pemilih saat ini sebenarnya membuka banyak alternatif kampanye yang lebih murah, tanpa harus membakar anggaran lewat iklan televisi atau radio yang tarifnya kerap membuat bendahara tim kampanye sulit tidur.
“Misalnya kampanye di media elektronik selama 21 hari, itu sudah tidak relevan lagi. Apalagi dengan alasan pembatasan akses keuangan.
Faktanya, memang tidak semua punya akses terhadap keuangan-keuangan itu,” ujar Bagja, menyiratkan bahwa demokrasi seharusnya tidak hanya ramah bagi kandidat bermodal besar.
Di balik usulan tersebut, Bawaslu juga menegaskan pentingnya pengawasan dana kampanye. Sebab, di tengah mahalnya biaya politik, pengawasan bukan lagi sekadar formalitas laporan, melainkan benteng terakhir agar pemilu tidak sepenuhnya berubah menjadi kompetisi siapa paling kuat secara finansial.
“Oleh sebab itu, pengawasan dana kampanye juga penting untuk dinilai,” tegas Anggota Bawaslu RI dua periode itu.
Usulan ini pun berpotensi memantik perdebatan panjang. Di satu sisi, penghapusan kampanye di media elektronik bisa memangkas ongkos politik.
Namun di sisi lain, publik menanti apakah kebijakan tersebut benar-benar memperkuat kualitas demokrasi atau sekadar memindahkan biaya mahal dari layar kaca ke sudut lain yang tak kalah gelap.***













