KOTA BEKASI – Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi tengah menyiapkan “regenerasi di balik papan tulis.” Melalui program Bimbingan Calon Kepala Sekolah (BCKS), sebanyak 21 guru terdiri dari 20 guru SD dan 1 guru TK telah menuntaskan pelatihan tahap pertama.
Program ini menjadi langkah awal menuju sistem kaderisasi kepala sekolah yang lebih tertata, profesional, dan (semoga) bebas dari aroma “penunjukan istimewa”.
Kepala Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Kabid PTK) Disdik Kota Bekasi, Wijayanti, mengakui peserta tahap awal memang masih terbatas.
“Kita kemarin cuma dikasih jatah 21 orang dari pusat. Anggarannya memang dari pusat, jadi kita menyesuaikan slot yang diberikan,” ujarnya diplomatis.
Dengan kata lain, semangat kaderisasi di daerah harus menunggu kiriman dana dari Jakarta.
Namun, Wijayanti memastikan tahap lanjutan BCKS sudah dianggarkan dalam Anggaran Biaya Tambahan (ABT) dan akan digelar pada awal Desember 2025.
“Insyaallah, gelombang kedua segera dimulai. Yang penting semangatnya tetap hidup, walau anggaran sering koma,” candanya.
Program BCKS tak berdiri sendiri ia terkait langsung dengan rotasi dan mutasi jabatan kepala sekolah.
Sebelum kursi kepala sekolah diisi definitif, posisi kosong sementara ditempati Pelaksana Tugas (PLT) berdasarkan kinerja dan catatan integritas.
“Yang bagus kita pertahankan, tapi ada juga yang kita putus karena ada skandal atau laporan pungutan. Kita evaluasi setiap tiga bulan,” tegas Wijayanti.
Nada suaranya santai, tapi maknanya menohok: jabatan kepala sekolah bukan zona nyaman, tapi zona evaluasi.
Dari total sekitar 1.800 guru yang memenuhi syarat, hanya 170 orang yang mendaftar menjadi calon kepala sekolah. Namun, tak semua lolos verifikasi.
Banyak yang tersandung persoalan administrasi dari SKP cuma setahun, surat tanpa tanda tangan atasan, hingga dokumen yang lebih cocok untuk lomba arsip terlengkap daripada seleksi pimpinan sekolah.
“Kita tidak tunjuk si A atau si B. Semua melalui seleksi administrasi dan tes kompetensi. Siapa pun yang memenuhi syarat bisa mendaftar,” tegas Wijayanti.
Kalimat itu seperti sindiran lembut untuk tradisi lama: jabatan yang “diatur” sebelum seleksi dimulai.
Meski proses seleksi masih berjalan, kekosongan jabatan kepala sekolah tetap jadi pekerjaan rumah. Disdik mencatat, ada 27 sekolah tanpa kepala definitif 7 SMP dan 20 SD.
Namun, Wijayanti memastikan, “Tidak ada sekolah tanpa pemimpin. Kalau kosong, kita carikan guru senior atau kepala sekolah terdekat untuk jadi PLT sementara.”
Di dunia pendidikan Bekasi, jabatan PLT ibarat tambalan darurat yang tak boleh robek sementara, tapi krusial.
Program BCKS menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Kota Patriot. Bukan hanya mencetak pemimpin baru, tapi juga mengubah pola lama dari jabatan yang diwariskan jadi jabatan yang diusahakan.
Wijayanti berharap BCKS tahap lanjutan Desember nanti bisa melahirkan lebih banyak kepala sekolah yang kompeten, berintegritas, dan tidak alergi transparansi.
“Intinya, kepala sekolah harus jadi teladan, bukan sekadar tanda tangan di surat izin pulang cepat,” ujarnya sambil tersenyum.
Pendidikan di Bekasi kini bukan hanya soal murid yang naik kelas, tapi juga guru yang naik jabatan.
Bedanya, kalau murid salah menjawab bisa remedial, sementara calon kepala sekolah yang salah langkah bisa langsung “dirapel pulang.”
Dengan sistem BCKS, Bekasi mencoba membuktikan: jadi kepala sekolah tak cukup modal umur dan kenalan tapi juga kompetensi, integritas, dan sedikit keberanian menolak titipan.***