Itulah corak dan ornamen yang pernah ada pada sebuah negara bangsa, yang sepertinya telah menjadi fosil dan berangsur-angsur punah dan mulai menjadi dongeng.
Cerita sebuah bangsa yang berubah dari nilai-nilai hakiki menjadi ironi, dari kekuatan Ilahi menjadi kekuasaan oligarki.
Dasar negara dan falsafah bangsa begitu indahnya disusun sebagai konsensus nasional.
Konstitusi tersusun rapi dan sistemik, sebagai sebuah pijakan bercengkeramanya anak bangsa.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita
Simbol-simbol dan jargon sungguh memesona rakyat yang telah peluh dan berdarah berhimpun dalam kesatuan semangat mempejuangkan, memelihara dan mengisi kemerdekaan.
Tapi semua itu hanya sebuah awal dari cita-cita meraih sebuah negara kesejahteraan, yang terus meredup, terasa seperti mimpi dan berujung uthopis.
Nilai-nilai kaya spiritualitas itu, pada akhirnya tercerabut dari jiwa dan sanubari manusianya. Bagai zombi yang mengerikan, penduduk negeri yang diklaim gemah ripah loh jinawi menjadi rakus dan ganas berebut makanan.
Bagai separuh manusia dan separuh monster atau iblis, pada akhirnya sesama warga negara itu saling memangsa.
Kapitalisme dan komunisme berkolaborasi menjadi panduan dan gaya hidup sebagian besar rakyatnya.
Agama sebatas status sosial dan keyakinan kepada Tuhan sekedar basa-basi. Negara dikuasai bromocorah, menjadi sarang penyamun dan menjadi habitatnya kumpulan kebiadaban.
Negara ketika pemahaman spiritualnya rakyatnya hanya nenghasilkan bangsa yang beragama tapi tak bertuhan.
Harta, tahta dan wanita telah menjadi tujuan hidup yang begitu diagung-agungkan dan dimuliakan.
Kemunafikan terbungkus ambisi, penghianatan menghiasi siasat. Keduanya menjadi standar memenuhi kepuasan batinnya.
Tak peduli bagaimapun dan dengan cara apapun dilakukan untuk meraihnya. Meneteskan air mata, menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa, seakan menjadi cara yang biasa dan lumrah untuk mengejar nafsu dunia.
Meskipun harus dengan menghilangkan kemanusiaan dalam dirinya dan membiarkan determinasi setan begitu dominan mengendalikan syahwatnya.
Tragedi demi tragedi, pembunuhan demi pembunuhan terus berjaya menampilkan karakter kekuasaan.
Darah rakyat tak pernah berhenti tumpah dan mengalir di bumi pertiwi. Membasahi panggung-panggung politik, menyirami kantor-kantor insitusi negara, tampias ke pemukiman kumuh rakyat, hingga menyeruak ke stadion sepak bola.