LAMPUNG TIMUR – Cinta memang tak selalu berakhir di pelaminan. Kadang, ia berakhir di meja pengadilan dan di Lampung Timur, juga berakhir di bawah bucket ekskavator.
Sebuah rumah di Desa Braja Mulya, Kecamatan Braja Selebah, rata dengan tanah setelah seorang mantan tenaga kerja wanita (TKW) mengeksekusi hasil putusan pengadilan agama terkait sengketa harta gono-gini. Tak ada drama rebutan, tak ada lempar piring hanya suara mesin ekskavator yang tenang tapi tegas menghancurkan sisa kenangan.
Video peristiwa itu viral sejak Kamis (6/11/2025). Dalam rekaman berdurasi singkat, tampak ekskavator kecil menggigit tembok rumah pelan-pelan, seperti memastikan setiap serpihan genteng mengingat bahwa cinta, sebagaimana bangunan, kadang tak perlu direnovasi cukup diratakan.
Puluhan warga menonton dalam diam. Tak ada yang mencoba menghentikan. Sebab, siapa yang berani melawan keputusan pengadilan… atau keputusan mantan yang sudah bulat?
“Mantan pasutri sepakat robohkan rumah karena harta gono-gini,” tulis salah satu akun media sosial yang pertama kali mengunggah video itu caption singkat yang rasanya pantas dijadikan puisi modern tentang perpisahan di era hukum positif.
Cinta Berakhir Legalitas
Kapolsek Braja Selebah, Ipda Raja Rizky Sihombing, mengonfirmasi bahwa perobohan rumah itu bukan aksi nekat, melainkan eksekusi sah berdasarkan putusan pengadilan agama.
“Peristiwa itu dilakukan secara sukarela dalam rangka pelaksanaan perkara pembagian harta gono-gini mantan pasutri,” ujar Ipda Raja Rizky dengan nada profesional mungkin satu-satunya pihak di lokasi yang benar-benar netral.
Menurutnya, obyek yang dibongkar terdiri dari dua bangunan:
- Satu rumah permanen berukuran 9×6 meter, dan
- Satu unit lain berukuran 8×7 meter.
“Perkara sengketa telah selesai dengan putusan eksekusi natural yang merupakan kesepakatan bersama kedua pihak,” tambahnya.
Dalam istilah hukum, “eksekusi natural” berarti pembagian aset dilakukan secara fisik bukan nominal. Tapi di telinga masyarakat, istilah itu terdengar lebih seperti “jalan damai versi alat berat”.
Dari Rumah Tangga ke Reruntuhan
Menurut warga sekitar, rumah itu dulunya dibangun dengan hasil kerja keras sang istri selama menjadi TKW di luar negeri. Tapi setelah rumah tangga mereka kandas, bangunan itu justru menjadi simbol “siapa yang lebih berhak atas kenangan”.
Daripada terus berseteru soal “tembok siapa, genteng siapa”, keduanya sepakat untuk merobohkan saja langkah berani yang jarang terjadi di dunia peradilan, apalagi dunia percintaan.
Kini, di tempat rumah itu berdiri, hanya tersisa tanah kosong dan sisa puing-puing kehidupan. Tapi menurut beberapa warga, langkah ini justru memberi pelajaran berharga: kadang yang harus dirobohkan bukan bangunannya, tapi egonya.
Fenomena ini menjadi potret unik bagaimana proses hukum bersinggungan dengan drama domestik. Hukum berjalan tenang, ekskavator bekerja efisien, sementara masyarakat menonton seperti sedang menyimak sinetron tanpa dialog.
Lucunya, di kolom komentar media sosial, banyak yang menulis: “Setidaknya mereka berpisah dengan cara damai tak ada yang rugi, kecuali bangunannya.”
Yang lain menimpali: “Kalau cinta sudah jadi perkara, yang adil bukan lagi hati, tapi palu hakim.” Dan entah mengapa, ada kebenaran pahit di dalamnya.
Pelajaran dari Puing
Peristiwa di Braja Mulya bukan sekadar soal rumah yang diruntuhkan, tapi juga simbol tentang bagaimana hukum, cinta, dan logika sering bertabrakan tapi tetap bisa berdamai.
Bagi sebagian orang, ini kisah tragis; bagi yang lain, justru bentuk kematangan emosional karena butuh keberanian besar untuk merobohkan rumah, terlebih jika di dalamnya dulu pernah ada tawa dan janji.
Pada akhirnya, Lampung Timur kembali memberi kita kisah sederhana namun bermakna, bahwa ada cinta yang tidak bisa diselamatkan, tapi bisa diselesaikan bahkan dengan cara sebersih dan selegal mungkin.
Dan kalau cinta memang harus berakhir, semoga tak perlu sampai panggil ekskavator.***













