WAWAINEWSW.ID – Pertukaran sandera Israel dan tahanan Palestina membuka bab baru dalam absurditas perang satu disiksa di sel bawah tanah, satu lagi masak untuk penculiknya. Dua realitas, satu kemanusiaan yang robek.
Di Gaza dan Israel, manusia sedang belajar hal baru dari penderitaan: bahwa siapa pun yang dikurung atas nama perang, ideologi, atau keamanan pada akhirnya tetap kehilangan kemanusiaannya.
Namun, seperti biasa, bahkan dalam tragedi, perbedaan kasta masih berlaku.
Yang satu disiksa sampai kurus kering, yang lain masih sempat jadi koki dan main kartu dengan penculiknya.
Dari Sel Gelap ke Udara Panas Gurun
Naseem Al Radee, pegawai negeri yang dulu sibuk di kantor Beit Lahiya, kini lebih seperti arsip berjalan dari kekerasan.
Ia ditangkap di sekolah pengungsi pada 9 Desember 2023, lalu “dipesan” Israel untuk 22 bulan penuh di penjara 100 hari di bawah tanah.
Tidak ada seminar HAM, tidak ada pencerahan rohani; hanya kabel, anjing, dan gas air mata.
“Setiap kali mereka datang, mereka berteriak ‘tengkurapmu!’ dan setelah itu kami tahu pertunjukan dimulai,” kata Radee getir.
Kerasan itu bukan hukuman, tapi rutinitas, seperti apel pagi bagi narapidana yang tak punya tanggal bebas.
Penjara Nafha di gurun Negev jadi saksi bagaimana manusia bisa dibuat merasa lebih rendah dari debu pasir.
Radee keluar dengan berat 60 kilogram dari 93, tapi setidaknya ia masih bisa bercerita—tidak seperti yang lain, yang mungkin hanya tinggal nama dalam daftar militer.
“Disko” Versi Israel
Mohammed Al Asaliya, 22 tahun, mahasiswa yang kehilangan lebih dari sekadar kebebasan.
Selama ditahan, ia terserang kudis, tidur di kasur kotor, dan merawat luka dengan cairan pembersih lantai.
Kalau Dante masih hidup, mungkin ia akan menulis bab baru dalam Inferno:
“Pintu keenam, tempat manusia mencoba sembuh dengan karbol.”
Ada juga ruangan yang disebut “disko” bukan tempat berdansa, melainkan siksaan akustik. Musik keras diputar dua hari tanpa henti, sementara tubuh digantung dan disemprot air dingin.
“Kadang mereka menaburkan bubuk cabai ke tubuh kami. Mungkin agar kami tidak lupa rasa pedas kehidupan,” ujar Asaliya lirih.
Sandera Israel: Antara Terowongan dan Kompor Gas
Sementara di sisi lain, kisah para sandera Israel terdengar seperti bab yang sama tapi dengan editor berbeda. Omri Miran (48), terapis pijat shiatsu, diculik dan dipindahkan ke 23 lokasi di Gaza. Namun, di antara duka, ia sempat jadi juru masak untuk penculiknya. “Kadang mereka menyukai masakannya,” kata saudaranya, Nadav.