KABUPATEN BEKASI – Ratusan mahasiswa dan pemuda menggelar aksi di depan pintu masuk Kantor Pemerintah Kabupaten Bekasi, Selasa (16/9/2025).
Peserta aksi menuding Peraturan Bupati (Perbup) No. 11 Tahun 2024 hanyalah “mesin penggiling uang” untuk kenyamanan para pejabat, sementara rakyat masih terjebak di jalan berlubang dan sekolah reyot.
“Perbup ini hanyalah puncak gunung es dari problem ketidakadilan di Kabupaten Bekasi. Lihat gaya hidup pejabat, mewah! Kontras sekali dengan kondisi rakyat kecil,” kata Aprilianus Agung, koordinator aksi, dengan toa di tangannya.
Aprilianus menyindir keras: “Kalau pejabat sibuk menambah fasilitas pribadi, Bekasi tak akan pernah maju. Jalanan bolong makin dalam, tapi kantong pejabat makin tebal.”
Kabupaten Bekasi, katanya, adalah lumbung industri dan pusat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan penduduk hampir 4 juta jiwa. Ironisnya, pekerjaan sulit, sekolah tak layak, dan banjir masih jadi langganan tahunan.
“Bekasi ini gudang pabrik, tapi warganya masih jadi penonton. Pejabatnya malah sibuk menghitung tunjangan,” tambahnya.
Sementara itu, Jaelani Nurseha, koordinator aksi lainnya, menyebut Perbup No. 11 Tahun 2024 sebenarnya merupakan perubahan ketiga dari regulasi lama soal hak keuangan DPRD. Meski secara angka tunjangan disebut berkurang, menurutnya, pemotongan itu “sekadar formalitas.”
“Potongan 100 ribu, tapi sisa tunjangannya ratusan juta. Itu bukan penghematan, itu kosmetik! Simbol ketidakadilan bagi rakyat, sementara pejabat tetap nyaman berfoya-foya,” ujarnya.
Delapan Tuntutan Rakyat: Dari Tunjangan sampai Sampah
Para demonstran tidak sekadar mengeluh. Mereka datang membawa delapan tuntutan yang, kalau dilihat, sebetulnya lebih rasional daripada APBD itu sendiri:
- Efisiensi tunjangan pimpinan DPRD, anggota DPRD, Bupati dan Wakil Bupati.
- Pecat anggota DPRD yang terjerat kasus hukum.
- Bebaskan tunggakan PBB untuk rakyat miskin.
- Hentikan job fair abal-abal, ambil alih sistem rekrutmen tenaga kerja oleh Pemkab Bekasi.
- Evaluasi Perda CSR dan Perda Tempat Hiburan Malam.
- Terbitkan Perda pengelolaan sampah, LP2B, RTRW, dan RTAR.
- Bentuk satgas peningkatan PAD serta sekretariat bersama OKP dan mahasiswa.
- Stop peredaran obat-obatan terlarang.
Tak cukup sampai situ, mereka juga mendesak DPRD membuat surat dukungan terhadap RUU Perampasan Aset di DPR RI serta menggelar coffee morning bulanan bersama Forkopimda.
“Biar ada ruang kontrol, jangan nunggu demo dulu baru panik. Masa rakyat cuma bisa ngopi sachet, pejabat ngopinya harus di hotel bintang lima?” sindir Jaelani, disambut tawa pedas para peserta aksi.
Demo ini menyajikan kontras yang telanjang, jalanan berlubang yang tak kunjung ditambal, sementara kantong pejabat makin tebal. Tunjangan disebut “berkurang”, tapi nilainya masih bisa bikin rakyat biasa hidup nyaman sampai pensiun.
Mungkin, kalau pejabat Bekasi mau sedikit belajar dari rakyatnya, mereka akan tahu: yang lebih butuh tunjangan justru warga, bukan kursi empuk DPRD.
Atau, seperti kata mahasiswa dalam orasinya: “Kalau pejabat Bekasi sibuk menambah tunjangan, jangan heran kalau rakyat menambah nyinyiran!”***












