BEKASI – Kemungkinan di Kabupaten Bekasi, program ketahanan pangan sudah diganti menjadi ketahanan petani menghadapi sampah. Pasalnya setiap musim tanam, para petani di wilayah utara, bukan sibuk mengairi sawah, melainkan menjadi petugas kebersihan dadakan untuk menyingkirkan tumpukan limbah yang memenuhi irigasi Serengseng Hilir.
Sementara pemerintah sibuk memoles citra swasembada, para petani justru bekerja di tengah irigasi yang lebih pantas disebut TPS berjalan, membuktikan bahwa di negeri agraris ini, air adalah janji, sampah adalah realita, dan petani adalah pihak yang selalu diminta maklum.
Kondisi itu membuat miris, ditengah gegap gempita slogan ketahanan pangan nasional, para petani di wilayah utara Kabupaten Bekasi hidup dalam realitas yang jauh dari panggung konferensi pers.
Setiap musim tanam, mereka harus menghadapi “ritual wajib”: bukan menyiapkan lahan, bukan menabur benih melainkan membersihkan sampah yang menutup aliran irigasi.
“Lapor Pak KDM, kami petani di 18 desa, enam kecamatan, setiap memasuki musim tanam harus membersihkan sampah,” ungkap Ketua PGR, Ustaz Jejen Jaenudin, kepada Wawai News, Sabtu 22 November 2025.
Nada suaranya bukan hanya keluhan melainkan ekspresi kelelahan yang menahun. Karena bagi petani di wilayah ini, irigasi bukan lagi saluran air, tetapi lorong panjang selebar 34 kilometer yang berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah massal.
Irigasi Serengseng Hilir: Saluran Air yang Lebih Banyak Air Mata
Petani di wilayah utara Bekasi tahu betul bagaimana saluran irigasi SS Serengseng Hilir kini tampak lebih mirip museum sampah daripada infrastruktur vital. Sungai yang seharusnya mengalirkan air ke sawah, justru menjadi penghalang raksasa yang harus mereka sisir setiap musim tanam.
“Bayangkan irigasi sepanjang 34 kilometer harus kami sisir agar air bisa mengalir. Sementara, sampah pun terpaksa kami hanyutkan ke hilir,” paparnya.
Tak ada alat berat, tak ada bantuan, tak ada petugas. Yang ada hanya tangan-tangan petani yang seharusnya memegang cangkul, tetapi kini harus memunguti botol plastik, kasur bekas, hingga limbah rumah tangga.
Petani utara Bekasi mengaku sudah lelah dengan serangkaian janji manis Pemkab Bekasi yang tak pernah benar-benar mendarat menjadi tindakan.
“Kami sudah bosan berharap. Tidak ada perubahan hanya janji, realisasinya nol,” tegas Jejen.
Harapan kini dialamatkan kepada Gubernur Jawa Barat, yang dinilai lebih sigap menangani persoalan lingkungan.
Para petani meminta agar Gubernur turun langsung melihat kondisi di lapangan, bukan hanya menerima laporan atas kertas yang biasanya sudah “rapi dan aman” sebelum sampai ke meja pejabat.
Di sisi lain, mereka juga mendesak KDM untuk menindak tegas oknum pembuang sampah sembarangan yang selama ini menjadi biang rusaknya irigasi.
Sayangnya, penindakan seperti itu di wilayah ini sering kali hanya hadir dalam spanduk, bukan tindakan nyata.
Ironisnya, ketika pemerintah gencar mengampanyekan swasembada pangan, para petani yang menjadi tulang punggung produksi justru harus berjuang menjemput air secara manual. Survei tahun 2024 menunjukkan, sebagian besar petani mengeluhkan:
- Akses air sulit dan tidak merata, terutama mereka yang jauh dari saluran primer.
- Biaya tambahan untuk memompa air, bahkan ada yang harus mengangkut air secara manual.
- Ketergantungan pada teknologi sederhana karena solusi irigasi modern sulit dijangkau.
Di atas kertas, irigasi disebut sebagai “urat nadi pertanian”. Tetapi di lapangan, urat nadi itu tampak nyaris putus terhambat sampah, kerusakan, dan minimnya perhatian.
Perubahan iklim memperburuk kondisi. Curah hujan tak menentu, musim kering yang lebih panjang, dan cuaca ekstrem membuat sistem irigasi yang sudah rapuh menjadi semakin tak dapat diandalkan. Para petani dipaksa bekerja lebih keras dengan sumber daya yang semakin sedikit.
Di tengah semua tantangan itu, satu hal tetap hidup: keteguhan petani. Dengan cangkul di satu tangan dan karung sampah di tangan lain, mereka membersihkan aliran irigasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Mereka tidak minta banyak hanya akses air layak untuk menanam padi, agar Indonesia bisa terus bangga menyebut diri sebagai negara agraris.
Namun sampai hari ini, perjuangan itu masih berlangsung. Sampah masih datang. Air masih macet. Janji masih dilontarkan. Dan petani masih bekerja, meski negara tampak terlalu sering absen dalam urusan irigasi.***












