Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Beredar foto “groufie” putra-putri dan sejumlah cucu mantan Presiden RI. Usai perayaan ulang tahun Didit Hadiprasetyo. Putra Presiden Prabowo, sekaligus cucu Presiden Soeharto.
Foto itu viral. Disertai framming suasana menyejukkan relasi antar dinasti kekuasaan di Indonesia. Selama ini pola relasi antar keluarga dinasti dikesankan hangat. Bahkan memanas. Walaupun silaturahmi momen-momen keluarga seperti dalam foto itu bukan peristiwa baru.
Ulang Tahun Mbak Titiek, Ibunya Didit, sudah sering melakukannya. Mengundang keluarga-keluarga dinasti politik ketika menggelar ulang tahun.
Beredarnya foto itu terasa Istimewa. Dianggap dan dirasakan sebagai antiklimaks benturan keluarga dinasti presiden selama ini.
Era kepemimpinan Presiden SBY, benturan dengan keluarga Presiden Megawati dikesankan sangat menghangat.
Era kepemimpinan Presiden Jokowi, benturan antara keluarga Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno di framming memanas.
Usai Presiden Prabowo terpilih, framming benturan antara keluarga Presiden Joko Widodo dan Presiden Megawati juga menguat.
Momen perayaan ulang tahun Didit dijadikan sebagai triger membawa ketegangan itu antiklimaks. Keluarga Presiden telah bersatu.
Tidak ada benturan lagi. Rakyat jangan bertengkar lagi. Begitu kira-kira pesan framming dari foto “groufie” itu.
Sejarah Indonesia banyak diwarnai kisah benturan antar dinasti berkuasa. Bukan kisah perjuangan membangun kebesaran sebuah bangsa.
Rakyat kecil rela dibuat menderita oleh benturan ambisi dinasti-dinasti itu.
Kita ambil saja contoh Paregreg. Konflik antar anggota dinasti berkuasa Majapahit itu telah membuat menderita rakyat Nusantara dalam skala kolosal. Jangka panjang.
Ketika kolonialisme Eropa masuk, Nusantara tidak lagi berdaya menghadapinya. Suprastruktur kekuasannya rapuh dari dalam.
Era Demak, terjadi pula konflik dinasti yang hebat. Pasca Adipati Unus.
Trenggono bentrok dengan Aryo Penangsang. Kekuasaan Demak Merosot. Kemampuan mengirimkan armada-armada laut dalam jumlah besar untuk menghadapi kolonialis Eropa menjadi sangat berkurang.
Bukan saja armada laut Nusantara merosot tajam. Rakyat banyak menjadi korban oleh benturan itu. Banyak Korban jiwa.
Era Mataram Islam, Amangkurat I bentrok dengan Trunojoyo. Anak Amangkurat I mendukung Trunojoyo. Sebelum kemudian mendukung ayahnya lagi. Banyak ulama dibunuh.
Era reformasi, dihidupkan pula pertengkaran dinasti. Antara Dinasti Presiden Soekarno dengan Presiden Soeharto.
Antara dinasti Presiden SBY dengan Presiden Megawati. Antara Dinasti Presiden Megawati dengan Presiden Joko Widodo.
Konflik-konflik dinasti ini bukan saja merugikan rakyat. Pendukung masing-masing pihak dibuat menderita melalui benturan dengan alasan pragmatis dan cita-cita sempit.
Ialah kelangsungan eksistensi dinasti belaka. Bukan orientasi kemashuran bangsa dan kesejahteraan segenap rakyat.
Konflik dinasti seringkali membuat agenda-agenda strategis bangsa terbengkalai. Disibukkan oleh mempertahankan jatuh bangunnya eksistensi dinasti.
Kuatnya narasi konflik dinasti juga menenggelamkan pengamalaman dan heroisme historis masa lalu bangsa Nusantara. Didit Hadiprasetyo.
Bagaimana kegemilangannya melawan ekspansi bangsa-bangsa besar dilupakan. Seperti pengalaman melawan Bangsa Cola Mandala India ketika menyerang Sriwijaya.
Pengalaman mengalahkan bangsa Tar Tar (Kubilaikhan – RRC). Bahkan sejarah kegemilangan konsolidasi Gajah Mada atas Nusantara juga dilupakan. Tertutup oleh narasi sejarah konflik dinasti.
Sejarah panjang konflik dinasti di bumi Nusantara telah memicu penderitaan, kemerosotan dan kemunduran kemakmuran.
Rakyat banyak menjadi korban. Dijadikan sebagai bidak pertengkaran antar dinasti. Urusan rakyat terbengkalai.
Belajar dari perjalanan historis yang panjang itu seharusnya rakyat Indonesia semakin cerdas dan terdewasakan. Menolak segala motif benturan atas nama dinasti.
Seluruh energi harus dialokasikan untuk sebesar-besarnya kemajuan bersama sebagai bangsa.
Kesetiaan seharusnya difokuskan untuk bangsa dan negara. Untuk cita-cita nasional. Sebagaimana tertuang dalam konstitusi: Pancasila dan UUD 1945. Bukan untuk menjadi penyangga ambisi kekuasaan dinasti belaka.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)