Scroll untuk baca artikel
Opini

Didit, Stabilizer dan Penjaga Tahta ?

×

Didit, Stabilizer dan Penjaga Tahta ?

Sebarkan artikel ini
Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Ia cukup di framming sebagai desainer internasional. Profesinya memang itu. Jauh dari peran pergulatan dunia politik maupun birokrasi pemerintahan. Termasuk juga bukan konsultan kebijakan strategis.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Pekerjaan sampingannya, mungkin kini menjadi pekerjaan utama, ialah mendampingi ayahandanya bertugas. Presiden RI. Menyediakan segelas air putih ketika ayahandanya kelihatah kehausan.

Mengingatkan untuk istirahat jika ayahandanya tampak kelelahan. Mendampingi menerima tamu-tamu negara. Tamu ayahandanya.

Ia memiliki cukup bekal untuk peran itu. Peran mendampingi menerima tamu elit. Dalam komunikasi, Didit ditempa di Barat. Ia familiar dengan bahasa internasional. Tidak ada kecanggungan berkomunikasi dengan tokoh elit mancanegara manapun. Entah kalau bahasa arab.

Secara konten komunikasi, pejabat elit umumnya suka tema-tema seputar art. Seni. Sebagai sarana komunikasi basa-basi dan mengakrabkan diri para kaum elit. Sebagai desainer internasional, Didit tentu tidak asing dengan tema itu. Bahkan menjadi passion-nya.

Soal isu kenegaraan tentu ada menteri teknis. Bukan domain untuk dibahas lama-lama pada level pejabat puncak sekaliber presiden.

Peran Didit, tampak cukup sampai di situ. Pendamping ayahanda bertugas. Seperti Yenny Wahid mendampingi Gus Dur. Atau seperti Mbak Tutut mendampingi Presiden Soeharto usai first lady Ibu Tien wafat.

BACA JUGA :  Kondisi Mengancam Kehidupan, KP2C Desak Prabowo Segera Normalisasi Sungai Cileungsi-Cikeas

Tapi mari kita lihat problematika yang dihadapi Presiden Prabowo. Setidaknya perspektif perpendaharaan spiritual kepemimpinan Jawa.

Pertama, kepemimpinan akan rapuh manakala tidak didampingi permaisuri. Ketika tidak ditopang first lady. Pemimpin dan permaisuri ibarat Yin dan Yang dalam konsep filosofi Tionghoa. Suatu konsep kekuatan saling berhubungan satu sama lain. Ketika salah satunya tidak ada, rawan “komplang”. Gejolak.

Sebagaimana diketahui khalayak luas, Presiden Prabowo tidak berada dalam ikatan Yin dan Yang secara ideal. Proses perjalanan hidupnya telah memisahkan dua kekuatan itu. Walaupun secara formal keduanya masih terkoneksi dan saling support. Perbendaharaan spiritulitas kepemimpinan Jawa menekankan dua kekuatan itu harus bersatu dalam ikatan formal pernikahan.

Presiden Prabowo melakukan langkah-langkah revolusioner. Tidak ada yang membantah. Ia sosok diperlukan dalam memandu perpacuan Indonesia melewati dinamika global yang tidak menentu. Kemampuan itu ada padanya. Kelebihan itu dihadapkan sejumlah “ke- komplang -an”. Gejolak.

Gus Miftah, komunitor utamanya dengan grassroot harus tumbang dalam hitungan hari usia jabatan. Begitu pula sejumlah pembantu dan orang dekatnya terus diincar masalah. Upaya-upaya perlawanan terhadap pemerintahannya terus bermunculan. Walaupun diarahkan secara tidak langsung. Mitra koalisinya, Presiden ke 7 Jokowi terus diusik.

BACA JUGA :  Krisis Demografi, Islam dan Tenaga Profesional Indonesia

Perbendaharaan spiritual Jawa umumnya didasarkan ilmu titen. Ialah kecermatan pengamatan. Bahasa ilmiahnya: riset. Pengamatan panjang. Apakah pandangan spiritualitas kepempimpinan Jawa itu berdasar riset atau tidak. Akurat atau tidak. Perlu pencermatan lebih lanjut.

Kedua, memori historis. Keluarga Presiden Prabowo merupakan keluarga cendekiawan terkemuka. Memiliki reputasi pengabdian berharga bagi eksistensi Republik Indonesia. Akan tetapi secara politik memiliki memori buruk.

Ketika ayahanda Presiden Prabowo harus menjadi pelarian politik ke luar negeri pada masa Presiden Soekarno. Sebelum kembali ke tanah air. Kemudian diangkat kembali reputasi politiknya oleh penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto.

Dua aspek itu dibuat menghantui Presiden Prabowo. Sebagai cendekia berwawasan global dan ditempa di barat, tentu ia mengesampingkan kedua hal itu. Masalahnya ia berada dalam iklim sosio kultur yang memegang keercayaan itu. Sedikit banyak akan berpengaruh dalam menciptakan riak-riak dalam kepemimpinannya.

Akan tetapi justru di sinilah letak peran strategis Didit itu. Di luar branding -nya selama ini sebagai desainer. Penyedia air putih untuk minum ayahandanya jika tampak kehausan. Teman ngobrol ayahanda maupun tamu-tamunya untuk mencairkan komunikasi.

BACA JUGA :  Prioritas CSR

Ia cucu dari penguasa terlama Republik Indonesia. Cucu Presiden Soeharto. Bukan saja masa kecilnya ditempa oleh lingkungan istana. Melainkan ia memiliki DNA penguasa. Jika putra-putra Presiden Soeharto sering disindir sejumlah kalangan: “mantu saja berani, masa anak macan tidak berani”.

Menggambarkan keengganan putra-putra presiden Soeharto serius berpolitik. Sementara menantunya berani berjibaku secara terus menerus meraih posisi sebagai presiden.

Didit adalah cucu macan itu. Ia memiliki energi melawan dan meluruhkan beragam benturan besar. Tatag, dalam istilah bahasa Jawa. Memiliki DNA dan energi kekuasaan.

Ketika melihat ayahnya kewalahan, ia tinggal angkat telpon: “ma… ayah terpojok”. Mamanya tentu dengan sigap menjalankan apa yang perlu dilakukan. Yin dan Yang penghuni tahta itu menjalankan fungsinya. Mamanya tentu belajar dari first lady, Ibu Tien.

Melalui orkestrasi Didit itulah potesi ke- komplang- an bisa diredam. Memastikan beragam gejolak tidak mengusik kemudi bangsa. Presiden Prabowo bisa terus melaju memastikan Indonesia meraih posisinya sebagai bangsa maju. Di tengah ketidakpastian global.

Didit memang hanya seorang desainer. Tapi ia esensinya stabilizer dan penjaga tahta itu. Memastikan kepemimpinan puncak menjalankan fungsi idealnya. Bukankah begitu?.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)