LAMPUNG – Konflik agraria di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, kembali memanas. Komisi I DPRD Provinsi Lampung mengeluarkan peringatan keras kepada PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) yang sudah dua kali mangkir dari panggilan rapat dengar pendapat.
Ketua Komisi I, Garinca Reza Fahlevi, menegaskan kalau panggilan ketiga masih diabaikan, maka wakil rakyat akan langsung “jemput bola” ke kantor PT BSA.
“Sudah dua kali dipanggil, enggak datang. Kalau sampai tiga kali, kami bukan cuma kirim undangan, tapi kami yang datang langsung. Jangan sampai masyarakat dibiarkan menunggu terus,” tegas Garinca dengan nada setengah serius, setengah sindir.
Anggota Komisi I, Miswan Rody, mengingatkan bahwa konflik tanah ini bukan isu baru.
“Sejak 2010 sudah muncul. Sekarang yang datang ke DPRD ini para ahli waris. Orang tua mereka dulu ingin tanahnya kembali, sekarang anak-anaknya yang melanjutkan perjuangan,” ujarnya.
Miswan juga menyentil lambatnya birokrasi. “Awal 2025 kami sudah tindak lanjuti soal HGU PT BSA. Tapi sampai hari ini, BPN Provinsi Lampung tidak juga bisa kasih bukti. Jangan-jangan bukti itu malah terselip entah di mana,” katanya, disambut gelak tawa kecil peserta rapat.
Warga dari tiga kampung—Negara Aji Tuha, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji—datang ke DPRD dengan wajah penuh harap. Mereka ditemani LBH Bandar Lampung.
Perwakilan warga, Tarman, menegaskan bahwa masyarakat tidak asal klaim. “Selama ini dibilang nyerobot. Padahal itu tanah nenek moyang kami. Kalau mau bukti, ada makam tua, pohon tua, batas tanah. Kalau pohon bisa bicara, mungkin sudah sejak dulu teriak minta keadilan,” sindirnya.
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, mengurai sejarah panjang tanah Anak Tuha.
“Tahun 1975 ada PT Candra Bumi Kota, bukan bicara dengan rakyat, tapi dengan tokoh adat. Lalu tahun 1990 beralih ke PT BSA. Setelah reformasi, rakyat baru sadar tanah mereka ternyata ‘dikontrakkan’ tanpa mereka tahu,” ungkapnya.
Ironisnya, ketika rakyat mencoba masuk ke lahan, jawabannya bukan dialog, tapi aparat. “Ada yang digusur, ditangkap, bahkan delapan orang sempat diproses hukum tahun 2024,” bebernya.
Garinca menegaskan DPRD siap menjadi mediator. “Kami akan fasilitasi hak rakyat sekaligus mencegah konflik sosial. Jangan sampai rakyat dipancing karena ketidaktahuan. PT BSA harus terbuka. Kalau tidak, kita akan terus kawal sampai tuntas,” tegasnya.
Konflik agraria di Lampung seakan jadi “serial sinetron” tanpa ending. PT BSA mangkir, rakyat menunggu, birokrasi lamban. DPRD kali ini berjanji “jemput bola”, tapi rakyat berharap wakil rakyat tidak ikut-ikutan jadi “bola” yang ditendang ke sana kemari.***













