Scroll untuk baca artikel
Hukum & Kriminal

Dua Aktivis LSM di Lampung Resmi Ditahan: Dari Celurit, Papan Bunga, sampai Restorative Justice

×

Dua Aktivis LSM di Lampung Resmi Ditahan: Dari Celurit, Papan Bunga, sampai Restorative Justice

Sebarkan artikel ini
Dirreskrimum Polda Lampung gelar konfrensi pers terkait OTT dua aktivis LSM dalam kasus dugaan pemerasan., pada Selasa 23 September 2025 - foto doc ist

BANDAR LAMPUNG – Kalau biasanya LSM dikenal sebagai pengawas kebijakan publik, kali ini justru ada dua ketuanya yang jadi bahan tontonan publik. Polda Lampung resmi menahan Wahyudi alias Yudi Gepak (Ketua LSM GEPAK) dan rekannya Fadly alias Padli, karena diduga lebih sibuk jadi debt collector ketimbang penggiat masyarakat.

Keduanya ditangkap pada Minggu (21/9/2025) sore, di depan sebuah minimarket di Jalan Tirtayasa. Alih-alih menenteng sembako, mereka malah kedapatan bawa celurit, pisau badik, mobil Toyota Rush, plat nomor modifikasi, plus uang tunai Rp20 juta pecahan seratus ribuan. Barang bukti yang lebih cocok untuk film laga ketimbang rapat advokasi.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Menurut Dirreskrimum Polda Lampung, Kombes Indra Hermawan, kasus ini bermula sejak Juli 2025. Modusnya sederhana tapi berbahaya: mengirim link berita dari portal milik tersangka ke Direktur RSUD Abdul Moeloek, Imam Gozali, dengan embel-embel ancaman demo. Singkat kata: kalau nggak bayar, siap-siap jadi headline negatif.

Awalnya mereka buka harga Rp40 juta. Korban cuma sanggup Rp20 juta. Bukannya kasihan, tersangka malah ngotot minta “pelunasan” sisanya, sambil terus menulis berita yang mengintimidasi. Polisi pun turun tangan, dan closing transaksinya langsung berubah jadi OTT.

Papan Bunga Perang Dingin

Lucunya, penangkapan ini justru memicu drama papan bunga. Di depan Polda Lampung, berjejer ucapan selamat atas ketegasan Jatanras. Tokoh-tokoh populis sampai ormas besar ikut mendukung penangkapan Yudi Gepak cs. Nama-nama beken seperti M. Alzier, Hercules, hingga Pemuda Pancasila masuk daftar “fans club” OTT ini.

Tapi, jangan salah. Di seberang jalan, berjejer pula papan bunga tandingan, “Hentikan Kriminalisasi Aktivis LSM.” Dari Trinusa, Ganas Lampung, Akar Lampung, sampai LSM bernama Liar (yang jujur, sesuai namanya, sudah cukup bikin senyum miring).

Hasilnya, Jalan Terusan Ryacudu berubah jadi catwalk papan bunga, pro-penjara vs pro-restorative justice.

Jalan Damai ala Lampung

Tak berhenti di situ, gabungan LSM, ormas, LBH, dan media pun sowan ke Pemprov Lampung. Mereka minta Gubernur Rahmat Mirzani Djausal turun tangan, demi mendorong skema restorative justice. Alasannya: kedua aktivis ini punya rekam jejak “transparansi dan akuntabilitas” (walau faktanya justru transparan saat OTT dan akuntabel soal tarif Rp40 juta).

Sekda Lampung, Marindo Kurniawan, yang menerima audiensi, cuma bisa berkata diplomatis, aspirasi akan disampaikan, daerah harus tetap kondusif, dan mungkin akan ada dialog dengan penasihat hukum.

Kuasa hukum tersangka, Gunawan Pharikesit, bahkan bilang definisi pemerasan itu “luas”. Menurutnya, uang Rp20 juta yang terbungkus plastik hitam di mobil kliennya masih “perlu pembuktian”. uang Rp20 juta di dalam mobil bisa dianggap apa? Parkir progresif?

Keduanya kini dijerat Pasal 368 KUHP (ancaman 9 tahun) dan Pasal 369 KUHP (ancaman 4 tahun). Polisi membuka pintu bagi siapa pun yang pernah merasa “ditarik iuran” oleh kedua LSM ini untuk melapor.

Namun di luar gedung polisi, dukungan moral tetap mengalir. Gelombang solidaritas menganggap kasus ini sebagai upaya pembungkaman suara kritis. Padahal, publik justru bertanya-tanya: suara kritis atau suara kasir minimarket?

Kasus Yudi Gepak dan Fadly ini jadi contoh klasik bagaimana advokasi bisa bergeser jadi invoice, bagaimana papan bunga bisa jadi senjata politik, dan bagaimana “restorative justice” sering dijadikan pintu darurat setiap kali pintu penjara sudah terbuka.

Lampung bukan cuma punya konflik tanah, tapi juga konflik tarif: dari tarif demo, tarif berita, sampai tarif papan bunga.***

SHARE DISINI!