PESISIR BARAT – Dunia pendidikan lagi-lagi tercoreng. Seorang siswa SMP Negeri 12 Krui Tanjung Jati, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, berinisial JS (13) meregang nyawa setelah ditusuk teman sekelasnya, SR (13), menggunakan gunting di dalam kelas, Senin (29/9/2025).
Kasat Reskrim Polres Pesisir Barat, Iptu Fabian Yafi Adinata, menjelaskan kronologi berdarah itu berawal dari aksi saling tantang. “Berdasarkan keterangan saksi, peristiwa bermula ketika korban mendatangi pelaku untuk mengajak berkelahi,” ujar Fabian.
Korban, lanjutnya, sempat memukul kepala pelaku dengan tangan. Merasa tersudut, pelaku spontan mengambil gunting dari laci meja dan menghujamkannya berkali-kali ke arah korban.
“Korban terkena luka di pelipis dan kepala bagian belakang, kemudian tersungkur. Pihak sekolah sempat berupaya membawa korban ke rumah sakit, namun nyawa korban tak tertolong dalam perjalanan,” jelas Fabian.
Polisi segera mengamankan pelaku yang kini berstatus anak berhadapan dengan hukum.
Kasus ini menambah daftar panjang tragedi di sekolah: tempat yang seharusnya mendidik justru berubah jadi lokasi kriminal. Ironis, alat tulis yang semestinya dipakai bikin tugas, malah jadi senjata menghilangkan nyawa.
Jika dulu anak-anak ribut di kelas paling berakhir saling ejek atau adu jotos ringan. Sekarang, perlengkapan belajar berubah fungsi dari pena jadi “peluru nilai”, dari gunting jadi “senjata tajam”.
Kasus ini menunjukkan rapuhnya benteng pendidikan karakter di sekolah. Siswa usia 13 tahun yang harusnya sibuk belajar Matematika dan IPA, justru lebih lihai mengelola emosi lewat kekerasan.
Sistem pendidikan pun lagi-lagi dipertanyakan: sibuk urus kurikulum, tapi abai pada psikologi anak.
Pertanyaannya: di mana guru saat anak-anak berkelahi? Mengapa konflik kecil bisa meledak jadi tragedi maut? Jangan-jangan sekolah terlalu sibuk menyiapkan lomba 17-an dan foto seremoni, tapi lupa mendidik anak soal resolusi konflik.
Tragedi ini bukan sekadar berita kriminal, tapi juga tamparan keras untuk dunia pendidikan. Jika anak usia 13 tahun sudah mampu mengakhiri nyawa temannya dengan gunting di ruang kelas, maka sekolah bukan lagi “taman belajar”, melainkan medan yang rawan kekerasan.
Boleh jadi ke depan, pertanyaan wali murid bukan lagi “nilai anak saya berapa, Bu?”, tapi “anak saya aman nggak kalau masuk kelas?”.***