LAMPUNG TIMUR – Harga singkong di Lampung sepertinya tak kunjung usai. Setelah Menteri Pertanian Amran Sulaiman menetapkan harga acuan Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen, kenyataannya di lapangan aturan itu hanya jadi “hiasan dinding” tanpa konsekuensi.
Anggota DPRD Provinsi Lampung, Yusnadi, pun melontarkan komentar pedas.
“Edaran Menteri itu cuma pajangan. Tidak ada sanksi kalau pabrik melanggar, jadi wajar saja perusahaan tak peduli. Akhirnya petani tetap merana,” sindir Politisi PKS ini kepada Wawai News, Sabtu 13 September 2025.
Menurut Yusnadi, pemerintah pusat seperti hanya ingin “menyenangkan telinga” petani, sementara di lapangan harga tetap dikangkangi oleh pabrik.
“Kalau mau serius, jangan hanya Kementerian Pertanian. Perdagangan juga harus ikut, bahkan kalau perlu ada Inpres, supaya jelas larangan impor. Kalau tidak, ya seperti sekarang, aturan hanya untuk seminar, bukan untuk petani sejahtera,” ujarnya.
Di sisi lain, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal memilih jalur berbeda mendorong petani singkong beralih ke jagung dan padi gogo.
Menurutnya, kedua komoditas ini lebih menjanjikan karena dilarang impor dan nilai tambah hilirisasinya besar.
“Harga gabah padi dan jagung dijamin pemerintah, hilirisasi juga luas. Lebih baik kita fokus ke dua komoditas itu,” kata Mirza.
Namun, gubernur sendiri mengakui hambatan utamanya adalah air.“Kalau pindah ke jagung atau padi gogo, masalahnya air. PLN sudah hadir, katanya siap bantu listrik untuk pompa air. Jadi kalau pompa macet, tinggal minta token saja,” ucapnya.
Kenyataan di pasar justru makin pahit harga tepung tapioka merosot dari Rp8.000 per kilogram (2024) menjadi Rp4.500 per kilogram (2025). Akibatnya harga singkong ikut jeblok, karena industri lebih memilih impor.
“Sekitar 70 persen tepung tapioka dipakai industri kertas. Nah, ternyata kertas impor lebih dihargai ketimbang keringat petani lokal,” keluh Mirza.
Jika ditarik benang merah, situasi ini ibarat pertandingan sepak bola di mana petani hanya jadi penonton. Pemerintah pusat sibuk bikin aturan, daerah sibuk bikin wacana alih tanam, sementara pabrik santai saja main harga.
Yusnadi pun menutup dengan sindiran “Kalau pemerintah serius, hentikan impor. Kalau tidak, edaran menteri ya tetap jadi edaran, paling banter dipajang di kantor camat.”
Petani sendiri? Masih setia dengan singkong, meski hasil panennya lebih sering jadi bahan berita ketimbang jadi sumber sejahtera.
Diketahui berdasarkan informasi dihimpun wawai news di lapangan aturan harga yang ditetapkan Mentan itu seolah hanya jadi dekorasi di atas kertas. Contohnya di PT BKM Sindang Anom, Lampung Timur.
Di sana, harga memang “resmi” Rp1.350 per kilogram. Tapi jangan senang dulu, potongan alias rafaksinya bisa tembus 47 persen.***












