LAMPUNG – Aksi kekerasan terhadap anak yang terjadi di Sekolah SMP Satu Atap (Satap) di Desa Gunung Mulyo, Kecamatan Sekampung Udik, oleh Oknum Kades setempat terus mendapat kecaman sejumlah pihak.
Sebelumnya aksi kekerasan fisik oleh oknum Kades Gunung Mulyo, mendapat sorotan LPAI, P2TP2A, Camat dan Ketua Komisi I Lampung Timur, bahkan Forum Pers Independent Indonesia ( FPII ) Provinsi Lampung ikut mengecam oknum Kades tersebut.
“Kami sangat prihatin kekerasan fisik kepada siswa di lingkungan sekolah SMP Satap di desa Gunung Mulyo Lampung Timur oleh oknum kepala desa setempat,”ungkap Aminudin ketua Setwil FPII Provinsi Lampung, di Bandar Lampung, Kamis (27/2/2020 )
Dia menegaskan selaku Pengurus FPII provinsi Lampung turut prihatin dengan kejadian yang dalami salah satu siswa. Diminta segera ada proses hukum yang harus ditegakkan agar memberi efek jera.
Menurut Aminudin, langkah yang harus dilakukan orang tua dan pihak sekolah harus melaporkan kejadian penganiayaan tersebut kepada pihak kepolisian.
Dikatakan selain orang tua korban yang harus melapor pihak sekolah juga harus bertanggungjawab karena kejadian itu terjadi di dalam lingkungan sekolah yang dilakukan oknum Kades.
Sekolah harusnya memberikan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dan penganiayaan, tidak berdiam diri, karna kejadiannya di dalam lingkungan sekolah yg merupakan tanggung jawab pihak sekolah memberikan perlindungan terhadap semua siswa.
Pengaduan sesuai dengan pengaturan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
Menurut yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
Pasal yang Menjerat Pelaku Penganiayaan Anak
Pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/peganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
“Melihat kejadian ini kami asumsikan bahwa anak yang dianiyaya/ dipukul oleh seseorang ini tidak sampai membuatnya terluka berat atau mati. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014, pelakunya diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.(Kandar)