Opini

Gus Miftah, Standar Baru Kabinet

×

Gus Miftah, Standar Baru Kabinet

Sebarkan artikel ini
Gus Miftah

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Mundur dari Utusan Khusus Presiden (UKP). Itulah langkah yang diambil Gus Miftah (GM), pada tanggal 6 Desember 2024. Belum juga genap dua bulan jabatan itu disandangnya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ia me- “roasting” atau “mengata-ngatai” goblok. Pada penjual es teh yang lalu lalang di arena pengajiannya.

Ia dituding khalayak luas melakukan “kejahatan lisan”. Mendeskreditkan, mengolok-olok atau membuat jatuh mental seseorang dihadapan khalayak.

Kasus itu mencerminkan komplikasi peran. Antara status GM sebagai “guru masyarakat” dan kapasitasnya sebagai “pejabat”. Kedua peran itu sulit dikompromikan.

Sebelum diangkat sebagai UKP, GM merupakan pendakwah populer. Sekaligus kontroversi. Selain segmen masyarakat akar rumput NU, ia juga merawat segmen grey zone. Segmen masyarakat zona abu-abu.

Ialah masyarakat “outlaws”. Masyarakat profan. Kaum tidak taat norma. Tidak taat aturan dan etika. Berdasarkan sudut pandang kalangan normatif konvensional.

Ia dekat kalangan WTS (Wanita Tuna Susila), dunia malam, para pekerja seni kelas bawah.

Termasuk para pedangdut koplo bernuansa erotis. “Kafe pangku”. Juga para pelawak dengan menjadikan dirty jokes sebagai materi lawakan.

Mereka mayoritas kaum muslim yang tidak taat-taat amat pada ajaran Islam. Umat Islam, akan tetapi oleh tuntutan keadaan, terpaksa berdamai dengan perilaku yang dilarang agama.

Sebagai gambaran ketika lagu-lagu Jawa tumbuh populer dengan banyak peminat. Kira-kira dalam kurun 10 tahun terakhir. Tumbuh lagu-lagu hits bernuansa “sexis”. Secara value disadari atau tidak, mengajarkan pengabaian terhadap norma agama.

BACA JUGA :  Manggulan "Jumenengan" Presiden Prabowo

Seperti lagu Jawa berjudul “Gubug Asmoro”. Kalau dalam bahasa sunda bisa sepadan artinya dengan “Saung Asmara”. Lagunya indah. Populer. Selalu didendangkan pada acara-acara publik. Diminati anak-anak hingga dewasa.

Mengisahkan sebuah dangau (gubug, saung) di tepi hutan. Masih belum hilang tanda merah di dinding dangau itu. Tanda pasangan cintanya masih perawan.

Sebuah kisah hubungan laki-laki dan perempuan. Tentu saja tanpa nikah. Menjadi kisah “memorable”. Sangat dikenang sebagai perjuangan cinta.

Lagu itu disadari atau tidak, akan terus menginfluence masyarakat. Termasuk anak-anak. Bahwa hubungan di luar nikah itu bisa dimaklumi. Demi Cinta.

Kejadian dalam “dangau cinta” itu bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak. Bahkan orang dewasa. Untuk menirunya.

Pada era-era seperti itu GM muncul membersamai para pelaku seni itu. Diajak pengajian. Termasuk mempopulerkan sholawatan dengan pelantunan lagu-lagu popular. Syairnya diganti sholawat.

Mungkin karena tuntutan peran sebagai “guru masyarakat” pada segmen “outlaws” itu, GM menjadi sosok lugas. Ceplas-ceplos. Bahkan sering melakukan dirty jokes.

Candaan-candaan tidak taat norma. Berdasarkan standar kelaziman norma pada masyarakat.

Pertanyaanya kenapa GM melakukan Dirty Jokes?. Atau lebih tepatnya untuk apa GM harus membuat dirty jokes. Bahkan di tengah-tengah dakwahnya?

Kita hanya bisa menduga-duganya.

Pertama, untuk menyejiwa dengan kaum “outlaws” itu. Agar tidak terjadi resisten.

Bahwa sebagai pendakwah, GM berbeda dengan pendakwah-pendakwah lain yang memandang rendah kalangan itu.

BACA JUGA :  Menjaga Anies Menyelamatkan Masa Depan NKRI

Selama ini kalangan itu dikesankannya sebagai “korak”. Kotoran rakyat. Para calon penghuni neraka. Para moralis cenderung berfatwa untuk menjauhi.

Melalui dirty jokes itu, GM seakan menyampaikan pesan. “Nih gue, sama dengan eloe. Kita sejiwa. Gue bagian eloe”. Akhirnya GM diterima kalangan itu tanpa resisten.

Kedua, untuk mengendalikan psikologi kaum “outlaws” binaannya itu. Bagaimanapun ia memiliki misi sebagai guru masyarakat. Untuk secara perlahan merehabilitasi mentalitas binaannya itu.

Ia tidak boleh kalah pamor. Tidak boleh kalah wibawa. Binaannya harus menurut dengan bimbingannya. Maka ia tempatkan dirinya selalu di atas. Tidak boleh rendah dari para binaannya.

Jika kalah wibawa, misinya sebagai pembimbing akan gagal. Akan diabaikan binaannya itu.

Di situlah tidak jarang memanggil dengan panggilan bernada merendahkan. Seperti mengatai “goblok” pada penjual es teh itu. Karena dipahami konteksnya sebagai guru dan murid. Pembimbing dan yang dibimbing.

Panggilan atau sapaan dirty jokes, pada segmen-segmen masyarakat tertentu bisa dipahami sebagai sapaan egaliter. Sebagai cerminan keakraban yang mendalam.

Dunia bawah tanah itu dunia rumit. Anti mainstream. Tidak banyak orang bisa menjalani peran sebagaimana GM. Bahkan oleh kyai-kyai NU sendiri.

Komplikasinya adalah ia kini (sebelum mundur), GM sebagai pejabat negara. Utusan Khusus Presiden. Perilakunya tidak bisa bebas lagi sebagaimana sebelumnya.

Perilaku yang dinilai publik tidak memiliki kepantasan moral, risikonya tidak akan ditanggungnya sendiri lagi. Presiden juga akan menerima percikan risiko itu.

BACA JUGA :  Tambang, Ormas dan Pasal 33 UUD 1945

Tercermin dari kepanikan Istana. Ketika kasus GM mencuat dan memicu gelombang protes publik. Bahwa perilakunya mengata-ngatai “goblok” pada penjual es teh merupakan ketidakpantasan.

Jaring-jaring istana membuat klarifikasi publik dengan nada menyudutkan GM. Berpihak pada arus publik. Walaupun GM sudah melakukan permohonan maaf kepada penjual es teh. Isu itu tetap saja tidak berakhir.

Kepala kantor komunikasi Presiden. Elit Gerindra. Membuat statemen memaklumi tuntutan publik. Sekaligus memberi koreksi keras pada GM. Juru bicara presiden melakukan penegasan: Presiden Prabowo sangat peduli masyarakat bawah. Perilaku GM tidak mencerminkan kebijakan presiden.

Itu sinyal tekanan istana kepada GM. Bahwa perilakunya telah membuat panik Istana. GM akhirnya mengundurkan diri.

Keputusan GM setidaknya memunculkan dua implikasi.

Pertama, Presiden Prabowo harus kehilangan salah satu vote getter elektoral terbaiknya. GM sangat berjasa menggeser basis massanya mendukung Presiden Prabowo. Termasuk basis NU yang pemilu-pemilu sebelumnya mendukung Presiden Jokowi. GM merupakan “juru kampanye” paling lantang.

Ada kontribusi besar GM terhadap kemenangan presiden. Jika ada rencana ikut serta kontestasi 2029, Presiden Prabowo harus memiliki sebanyak mungkin vote getter sekaliber GM. Kini peran GM tidak bisa dioptimalkan sebagaimana sebelum mencuatnya kasus ini.

Kedua, mundurnya GM merupakan standar baru bagi Istana. Ketika pejabat menuai gelombang protes dan bahkan meresahkan masyarakat. Ia harus dengan kesatria mengundurkan diri. Sebagaimana GM lakukan.

Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 07-012-2024