Scroll untuk baca artikel
TANGGAMUS

HAKORDIA di Tanggamus: Seremoni Optimistis Beradu dengan Realita Pahit Korupsi yang Tak Kunjung Padam

×

HAKORDIA di Tanggamus: Seremoni Optimistis Beradu dengan Realita Pahit Korupsi yang Tak Kunjung Padam

Sebarkan artikel ini
Foto: Gedung Kantor Pemerintahan Kabupaten Tanggamus
Foto: Gedung Kantor Pemerintahan Kabupaten Tanggamus

TANGGAMUS – Suasana Ruang Rupatama Pemkab Tanggamus, kemarin Selasa (9/12/2025), mendadak berubah seperti panggung dua lakon, satu dipenuhi optimisme seremonial, sementara satunya lagi memaparkan kenyataan keras yang selama ini disembunyikan di balik baliho antikorupsi yang tersenyum ramah.

Wakil Bupati Agus Suranto, yang membacakan sambutan Bupati, membuka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA) dengan nada penuh harapan. Ia menyerukan “gerakan moral bersama” dan memaparkan sederet program yang disebut sebagai komitmen Pemkab Tanggamus memberantas korupsi.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Komitmen itu, menurut pemda, tercermin dalam tiga langkah utama:

  1. Surat Edaran pemasangan spanduk dan baliho HAKORDIA, yang disebut sebagai dukungan massifmeski publik tahu persis korupsi tak bisa diusir dengan banner berwarna cerah.
  2. Peluncuran absensi fingerprint terintegrasi, yang diharapkan meningkatkan disiplin ASN walau integritas jelas tak lahir dari mesin pindai sidik jari.
  3. Program penerangan hukum untuk pejabat perangkat daerah, sebuah sinyal bahwa sebagian birokrasi masih memerlukan “kursus kilat” memahami hukum dasar pengelolaan keuangan negara.
BACA JUGA :  Pemerintah Pekon Dadisari Bedah Empat Rumah Warga Tidak Layak Huni di 2025

Sambutan ditutup pantun penyemangat, seolah-olah perjalanan memberantas korupsi hanya butuh optimisme dan rima yang manis.

Namun suasana berubah drastis ketika Kepala Kejaksaan Negeri Tanggamus, Subari Kurniawan, S.H., M.H., mengambil alih podium. Seremonial manis langsung runtuh oleh paparan keras realita yang tak bisa dibantah.

Dalam Forum Konsultasi Publik HAKORDIA 2025, Kajari mengungkap tiga pola korupsi klasik yang masih terlihat terang-benderang:

1. Mark Up Proyek

Anggaran pembangunan yang seharusnya jadi fasilitas publik justru berubah menjadi “proyek diet” tampak besar di kertas, kurus di lapangan. “Kualitas bukan prioritas, yang penting angka di atas kertas naik,” tegas Subari.

BACA JUGA :  Sempat Dinyatakan Hilang di Way Semaka, Warga Tanggamus Ditemukan Meninggal Diserang Buaya

2. Persekongkolan Tender

Ia menyebut proses tender tak ubahnya “sandiwara tahunan”. Nama pemenang sudah disusun rapih jauh sebelum lelang diumumkan.

3. Pungli Layanan Publik

Warga dipaksa mengeluarkan uang untuk layanan yang sebenarnya gratis.
“Di loket, kalau tak bawa amplop, urusannya bisa ikut antre bersama harapan yang tak kunjung selesai,” sindirnya.

Kritik tajam tak berhenti di lingkup kabupaten. Kajari justru menyingkap fakta lebih gelap: korupsi yang lebih kasar terjadi di Kecamatan, unit birokrasi paling dekat dengan masyarakat.

“Jangan kira korupsi hanya di kantor Bupati,” ujarnya. “Di Kecamatan titik rawannya justru lebih banyak, karena langsung bersinggungan dengan kebutuhan rakyat.”

BACA JUGA :  Izin Perpanjangan Kerja dari Suami Diabaikan, Kuasa Hukum Rudi Candra Desak Disnaker Tanggamus Usut Dugaan Pelanggaran Tiga Perusahaan

Ucapan itu membuat sebagian ruangan mengeras; beberapa peserta tampak terdiam, seperti baru disadarkan bahwa masalah yang mereka hadapi jauh lebih kompleks daripada urusan baliho.

Kajari kemudian memberikan pukulan paling telak untuk menutup paparannya:

“Kalau penyakitnya kanker, apakah cukup ditempel plester?” katanya, menyindir langkah-langkah kosmetik Pemkab Tanggamus.

Apakah Pemkab Tanggamus berani melakukan operasi besar membersihkan birokrasi, atau akan kembali menggelar seremoni antikorupsi tiap tahun sambil berharap baliho bisa mengusir praktik yang sudah mengakar puluhan tahun?

Yang jelas, setelah paparan Kajari, HAKORDIA 2025 di Tanggamus tak lagi terasa seperti peringatan. Lebih mirip audit moral terbuka. Dan publik kini menunggu: apakah pemerintah daerah hanya kuat di panggung, atau juga berani turun ke ruang operasi?.***