LAMPUNG – Drama panjang tata niaga singkong di Lampung belum juga menemukan akhir yang manis. Harga yang diharapkan petani masih saja tergantung pada mood pasar dan tarik-ulur kebijakan pemerintah pusat. Alhasil, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal bersama sejumlah kepala daerah se-provinsi Lampung “nglurug” ke kantor Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, dua hari lalu.
Pertemuan elite itu ibarat “rapat akbar” singkong: hadir jajaran kementerian dari Pertanian, Perdagangan, hingga Perindustrian. Dari pihak swasta tak ketinggalan, barisan pengusaha tapioka, pengusaha kertas, dan pengusaha makanan ikut nimbrung seolah-olah nasib singkong lebih banyak ditentukan oleh kursi empuk di Jakarta ketimbang ladang berlumpur di Lampung.
Dari Lampung sendiri, rombongan dipimpin Ketua DPRD Ahmad Giri Akbar, Ketua Pansus Tataniaga Ubi Kayu Mikdar Ilyas, hingga kepala daerah dari Lampung Utara sampai Tulang Bawang. Lengkap, pokoknya. Tinggal petani yang jadi bahan obrolan, entah duduk di mana.
Empat Janji Manis: Dari Impor Dibatasi Sampai Harga Ditentukan
Hasil pertemuan itu melahirkan empat kesepakatan yang (katanya) bakal memperbaiki tata kelola singkong di Lampung:
Petani Masih Menunggu Kepastian
Asisten Perekonomian Setdaprov Lampung, Mulyadi Irsan, mengatakan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal mendesak agar pemerintah pusat segera menetapkan harga acuan singkong. “Kalau bisa cepat, supaya harga singkong ikut naik,” ujarnya.
Namun, seperti biasa, janji-janji itu masih butuh stempel menteri. Sementara petani di Lampung tetap berkutat dengan harga anjlok, pupuk mahal, dan modal pinjaman.
Fenomena ini menunjukkan satu hal: singkong makanan rakyat dari ketela hingga tape masih jadi “anak tiri” kebijakan. Para pejabat sibuk rapat di ruang ber-AC, sementara petani singkong tetap kepanasan di kebun. Singkong yang dulu jadi simbol ketahanan pangan, kini justru jadi “komoditas kebijakan” yang diperebutkan antara pengusaha besar dan kementerian.
“Kalau begini terus, jangan-jangan petani disuruh nunggu keputusan rapat dulu sebelum mencabut singkong dari tanah,” celetuk seorang aktivis tani di Lampung dengan nada sinis.***