Scroll untuk baca artikel
Head LineLampung

HIPMI Bongkar Kongkalikong Tender Lampung Timur: Pokja Jadi Sutradara, Proyek Sudah Ada Pemeran Utama

×

HIPMI Bongkar Kongkalikong Tender Lampung Timur: Pokja Jadi Sutradara, Proyek Sudah Ada Pemeran Utama

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi lelang proyek- foto net

LAMPUNG TIMUR – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Lampung Timur membongkar carut-marut alias dugaan adanya kongkalikong dalam sistem pengadaan barang dan jasa (PBJ) di wilayahnya.

Menurut Fitra, apa yang seharusnya menjadi arena kompetisi sehat antar pelaku usaha, kini berubah jadi panggung drama dengan naskah yang sudah disiapkan sejak awal.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Setiap perencanaan sudah ada arahnya. Rencana pengadaan diarahkan untuk kepentingan produk atau penyedia tertentu. Bahkan waktu pelaksanaan pun tidak realistis. Seolah-olah dikejar tenggat yang sengaja dibuat agar tidak semua bisa ikut,” tegas Fitra, dalam konferensi pers di salah satu rumah makan di Lampung Timur, Senin (10/11/2025).

HIPMI menilai, banyak proses tender yang seolah-olah transparan, padahal hanya setransparan kaca buram. Informasi publik ditutup-tutupi, harga perkiraan sendiri (HPS) tidak disesuaikan dengan standar, dan panitia bekerja dengan gaya “tutup mulut, buka amplop.”

“Spesifikasi teknis diarahkan ke produk tertentu, dokumen lelang tidak lengkap, bahkan jangka waktu pengumuman dibuat sangat singkat. Ini bukan kesalahan teknis, tapi kesengajaan sistematis,” lanjut Fitra.

BACA JUGA :  Waduh, Gaji Pokok Guru ASN/PPPK di Semaka Dipotong 0,005 Persen oleh Kantor SPLP

Ia juga menuding adanya “jurus halus” panitia dalam membatasi informasi, agar hanya kelompok tertentu yang mendapat dokumen lengkap. Lebih parah lagi, ada dugaan penyisipan revisi di dalam dokumen awal seperti twist film yang terjadi perubahan alur cerita, tapi versi administrasi negara.

Tender Ala Lampung Timur: Siapa Cepat, Siapa Dekat

Fitra menilai panitia tender bekerja secara tertutup dan manipulatif. Pengumuman pemenang proyek hanya diberitahu ke kelompok tertentu. Sanggahan diabaikan, penetapan pemenang ditunda, dan proses kontrak diwarnai kejanggalan dokumen.

“Kami merasa dirugikan. Kami periksa sesuai prosedur, tapi hasilnya seperti sudah diatur. Kalau ini bukan permainan, mungkin namanya sulap administrasi,” ujar Fitra dengan nada getir.

HIPMI mendesak segera dibentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan investigasi menyeluruh, memanggil pihak-pihak terkait, dan menelusuri kemungkinan pelanggaran hukum oleh oknum di lingkaran Pokja, UKPBJ, PPK, maupun PA.

“Kalau benar ada dinas yang ikut bermain, jangan disapu di bawah karpet. Harus disapu tuntas, karena ini bukan debu, tapi penyakit kronis birokrasi,” katanya.

9 Perusahaan “Pendatang” Kuasai Rp4,4 Miliar Proyek

HIPMI juga membuka data yang mereka klaim valid: ada sembilan perusahaan dari luar Lampung Timur yang justru mendominasi proyek senilai Rp4,43 miliar.
Perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari Tangerang, Jakarta, Bogor, hingga Lombok Nusa Tenggara Timur.

Di antaranya:

  • PT Wingsang Geni Jasa Teknik – 7 proyek senilai Rp480,7 juta
  • PT Antasena Nusa Engineering – 6 proyek senilai Rp414,2 juta
  • PT Hagia Cipta Persada – 6 proyek senilai Rp373,2 juta
  • Makalu Gantar Konsultan – 5 proyek senilai Rp387,1 juta
  • PT Perisai Gading Perkasa – 7 proyek senilai Rp566,4 juta
  • PT Duta Cipta Consultindo – 3 proyek senilai Rp299,5 juta
  • CV Inti Karya Mitra Selaras – 4 proyek senilai Rp115,3 juta
  • CV Kalembo Ade Mautama – 1 proyek senilai Rp1,45 miliar

Total: Rp4.436.042.852,00.

“Ini bukan lagi soal kalah tender, tapi soal kalah sehat. Pengusaha lokal dipaksa jadi penonton di tanah sendiri,” ujar Fitra.

Duduk Bersama, Bukan Main Sendiri

Konferensi pers HIPMI itu juga dihadiri perwakilan asosiasi lain seperti Gabpenas, Gabpeksindo, dan beberapa asosiasi profesi. Suasana sempat hangat, bahkan beberapa pengusaha sempat melontarkan sindiran lucu:

“Kalau tender di sini pakai sistem kejujuran, mungkin server-nya error,” celetuk salah satu peserta disambut tawa getir.

Namun di balik humor itu, tersimpan nada serius. Para pelaku usaha muda menuntut pembenahan sistem pengadaan di Lampung Timur agar kembali ke roh dasarnya: kompetisi sehat, transparan, dan akuntabel.

“Kami tidak menuntut proyek, kami menuntut keadilan ekonomi. Karena kalau anak muda tidak diberi ruang tumbuh, yang tersisa hanya ruang gosip dan ruang tamu dinas,” pungkas Fitra.

Kritik HIPMI ini menjadi pengingat penting bahwa reformasi birokrasi bukan hanya soal dokumen dan tanda tangan, tapi tentang keberanian membuka jendela ketika ruangan mulai berbau “main mata”.***