Ketiga, kaderisasi gerakan politik dan tempaan aktivis perubahan. Dilakukan oleh Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan lain sebagainya. Eksistensinya tidak bisa dilepaskan dari internal kampus.
Kader-kader OMEK merupakan pengisi kontestasi kempimpinan organisasi politik kampus. Representasi suara mahasiswa dalam internal kampus. Sepertri Senat Mahasiswa atau BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).
Ketiga sistem itu memiliki manual kaderisasi berjenjang. Memiliki idiologi gerakannya masing-masing. Pergerakannya merupakan pergerakan terukur sesuai idiologi yang dipedomani. Selalu dalam koridor akademik.
Sebagaimana HMI, mengusung idiologi: Ikut bertanggung jawab mewujudkan masyarakat Indonesia adil makmur berdasar Pancasila dan atas Ridho Allah Swt. Ada aspek idiologi kebangsaan. Ada aspek transendensi.
PMII mengusung gerakan dalam lingkup idiologi kebangsaan dan keaswajaan. Mengacu idiologi kebangsaan dan keagamaan NU secara spesifik. Terdapat aspek kebangsaan, transendensi dan lebih spesifik keaswajaan. Keahlussunahan.
GMNI mengusung idealisme murni ke-Indonesiaan. Berbasis kecintaan pada serba Indonesia. Termasuk pembelaan terhadap masyarakat tertindas.
Gerakan politik organisasi-organisasi ekstra kampus itu selalu konstruktif. Terdapat visi yang hendak diwujudkan. Terdapat target perubahan. Bukan sekedar gerakan dekonstruktif.
Situasi bergeser ketika Indonesia memasuki era reformasi. Ketika kebebasan berbicara diberi keleluasaan tanpa barrier. Tanpa koridor pembatas. Hanya dalam Batasan pencemaran nama baik. Bukan serangkaian value. Nilai.
Maka spirit pembangunan peradaban itu dilupakan.
Bukan idiologi gerakan perubahan yang mengemuka. Diskursus publik digeser pada narasi bernuansa idiologi gerakan kekuasaan. Berkutat pada: suka tidak suka pada pemegang kekuasaan. Jatuh menjatuhkan antara pemegang kekuasaan dan pengejar kekuasaan.
Sumpah serapah, framming, logical falacy, pembunuhan karakter. Menyeruak dalam diskursus publik. Orang-orang yang tidak memiliki tempaan kaderisasi dalam gerakan perubahan ikut dalam diskursus publik. Kultur dialektika publik berubah sekedar jatuh menjatuhkan lawan politik.
Berbekal dengan penguasaan basis massa dan kemampuan orator, bermunculan figur-figur baru tanpa latar belakang tempaan idiologi gerakan perubahan.
Bahkan hanya berbekal sejumlah dalil-dalil keagamaan. Mereka lihai menghujat dan jatuh menjatuhkan lawan politik. Targetnya: lawan politik jatuh. Diganti dengan kelompoknya.
Ketokohan gerakan seperti ini menjadi role model baru. Idiologi gerakan perubahan digeser idiologi pemburu kekuasaan.
Bukan berjuang untuk gerakan perubahan. Melainkan perubahan harus dilalui dengan perubahan kekuasaan. Dan kekuasaan itu harus mereka berada di dalamnya.
Kekuasaan tentu merupakan magnet bagi siapa saja. Maka idiologi gerakan kekuasaaan ini menarik minat banyak pihak. Termasuk mempengarui aktivis-aktivis kampus dan eks aktivis kampus untuk menirunya.
Barangkali seperti itu kejadian BEM Unair bisa dijelaskan. Apa target value yang hendak dicapai dari pesan karangan bunga itu?. Pesan perubahan apa yang hendak disampaikan?.
Absurd. Hanya framming buruk. Tidak ada target perubahan yang diusung.
Itulah buah pergeseran dari idiologi gerakan perubahan dan idiologi kekuasaan. Sepanjang reformasi hingga kini.
Gerakan pembaharuan kita harus dikembalikan pada relnya. Lahirnya pejuang-penjuang pembaharu. Bukan generasi pencaci.
ARS (rohmanfth@gmail.com), eksp 98, Jaksel, 29-10-2024