Scroll untuk baca artikel
Opini

Iedul Adha, Industri Peternakan Rakyat dan Kemalasan Struktural

×

Iedul Adha, Industri Peternakan Rakyat dan Kemalasan Struktural

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Lebaran Iduladha

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Iedul adha, sering hanya dilihat dari aspek tradisi keagamaan. Tradisi muslim melakukan penyembelihan binatang Qurban. Untuk dibagi-bagi dagingnya kepada masyarakat.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ada tiga keceriaan rakyat yang tidak bisa disediaan negara kepada rakyatnya pada momen itu.

Pertama, keceriaan spiritual pelakunya. Muslim yang diberi kemampuan melakukan penyembelihan binatang qurban akan merasakan kepuasan spiritual. Kepuasan itu tak terdeksripsikan. Bahwa ia dimampukan dan telah melakukan perintah agama itu.

Kedua, keceriaan penerima daging qurban. Terutama bagi masyarakat yang tidak setiap saat bisa menyantap daging dalam kesehariannya.

Ketiga, keceriaan bagi peternak dan pedagang hewan qurban. Ekonomi rakyat bergerak secara mandiri, tanpa stimulus pemerintah. Oleh jual beli, peternakan dan usaha penggemukan hewan qurban.

Tahun 2021 omset nasional hewan qurban mencapai 26,4T, 2022 (27 T), 2023 (48,9 T), 2024 (29,55 T). Tahun 2025 diprediksi menurun seiring perlambatan ekonomi masyarakat.

Menurun 233.000 orang pekurban dari tahun 2024. Angka-angka itu menunjukkan sebuah pasar ternak yang tidak kecil. Industri peternakan digerakkan oleh tradisi keagamaan kaum muslim. Bukan oleh rekayasa negara.

BACA JUGA :  Kepemimpinan Islam Tanpa Perang dan Kekerasan

Terdapat gap market di dalam negeri (surplus). Antara kebutuhan binatang qurban dan kemampuan peternakan rakyat menyediakannya.

Tahun 2021 surplus (7000 ternak), 2022 (400.000 ternak), 2023 (1.410.000 ternak). Tahun 2024 (90.000 ternak), 2025 (100.000 ternak). Angka-angka ini merupakan data kasar diserap dari berbagai sumber yang angka pastinya tidak sama.

Pada sisi lain, terdapat pasar ternak qurban dalam radius dekat maupun jauh. Negara-negara radius dekat seperti Malaysia, Brunai maupun Singapura. Ini berdasarkan gap market, antara permintaan dan kemampuan pemenuhan permintaan hewan qurban di negara-negara itu.

Malaysia impor 200.000 s.d 300.000 ekor ternak (sapi dan kambing) setiap tahun. Indonesia berpotensi ekspor dalam kisaran 20-30%.

Sekitar 40.000 – 90.000 per tahun. Valuasinya mencapai US$ 48 juta (768 miliar rupiah) s.d US$ 135 (2.160 miliar rupiah atau 2 T lebih).

Brunei impor 5.000 s.d 10.000 ekor ternak pertahun. Indonesia berpotensi mengisi (50-70% pasar). Singapura terbuka potensi ekspor ternak Indonesia sebesar 3.500 s.d 7000.

BACA JUGA :  Tambang Ilegal di Wilayah Kampung Kelahiran Mantan Wakil Gubernur Lampung yang Terbiarkan?

Saudi Arabia, memerlukan 2 juta binatang qurban setiap tahun. Dipasok Sudan, Ethiopia dan Australia. Jika Indonesia mengambil segmen 5% saja, jumlahnya sudah 100.000 ekor per tahun. Valuasinya bisa mencapai 800 Miliar per tahun. Tetu potensi penetrasi ekspor ke Saudi lebih besar dari itu.

Distribusi daging qurban para jamaah haji dilakukan melalui “Adahi Project”. Program resmi pengelolaan kurban dan dam (denda haji) oleh Islamic Development Bank (IsDB). Di distrbusikan ke lebih 30 negara berpenduduk miskin.

Problem terbesar ekspor ternak qurban Indonesia adalah karantina, sertifikasi dan kesehatan hewan. Negara tujuan mewajibkan standar ketat (bebas PMK, brucellosis, anthrax). Peternak rakyat belum terfasilitasi untuk pemenuhan persyaratan itu.

Fragmentasi peternakan rakyat. Produksi ternak skala kecil, sulit konsolidasi kuantitas dan kualitas. Minimnya infrastruktur logistik ekspor. Belum banyak pelabuhan dengan fasilitas ekspor ternak hidup. Kapal ternak terbatas.

Tidak adanya skema ekspor kolektif. Integrasi peternak-rantai pasok-ekspor. Lemahnya regulasi berupa dukungan G2G maupun B2B untuk ekspor binatang kurban ke negara-negara tersebut.

BACA JUGA :  Pilkada Jakarta 2024: Redupnya “Masyarakat Rasional”?

Potensi besar peternakan rakyat dengan potensi besar kebutuhan binatang qurban di negara-negara muslim tidak atau belum terjembatani oleh negara. Kondisi ini mungkin bisa gambarkan melalui istilah “kemalasan strutural”.

Ialah “kegagalan sistemik dari lembaga, birokrasi, dan kebijakan negara untuk mendorong perubahan, meski potensinya nyata dan peluangnya terbuka”.

Maka potensi besar peternakan rakyat Indonesia tidak bisa mengakses pasar besar kebutuhan binatang qurban di berbagai negara yang memerlukan. Potensi itu menjadi penggerak industri peternakan di negara-negara non muslim.

Tradisi pesta tusuk sate setiap momentum lebaran di Indonesia perlu ditingkatkan. Momentum Iedul Adha dijadikan sebagai penggerak perekonomian rakyat. Ialah melalui optimalisasi peternakan rakyat untuk pemenuhan binatang qurban di berbagai negara yang memerlukan.

Mungkin perlu dipikirkan BUMN khusus ekspor ternak qurban. Juga berbagai fasilitas dan regulasi yang mendukung ekspor ternak qurban. Untuk menjadi jembatan antara peternakan rakyat Indonesia dengan pasar hewan qurban global.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)