WAWAINEWS.ID – Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI telah menetapkan besaran zakat fitrah tahun 2025 yang harus dibayarkan setiap individu umat Muslim sebesar Rp47 ribu atau setara 2,5 kg atau 3,5 liter beras premium untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Lalu, apakah orang yang masih di tanah rantau saat lebaran harus membayar zakat di tempat rantaunya atau boleh di kampung halamannya?
Para ulama Syafi’iyah memberikan ketentuan tentang tempat pendistribusian zakat fitrah dengan mengacu pada tempat di mana seseorang berada pada saat terbenamnya matahari di hari akhir bulan Ramadhan atau malam Hari Raya Idul Fitri.
Maka bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya. Ketentuan ini salah satunya dijelaskan dalam kitab Ghayah Talkhish al-Murad:
ـ (مسألة): تجب زكاة الفطر في الموضع الذي كان الشخص فيه عند الغروب، فيصرفها لمن كان هناك من المستحقين، وإلا نقلها إلى أقرب موضع إلى ذلك المكان
Artinya: Zakat fitrah wajib (ditunaikan) di tempat di mana seseorang berada pada saat matahari (di hari akhir Ramadhan) tenggelam. Maka ia memberikan zakat fitrah pada orang yang berhak menerima zakat yang berada di tempat tersebut, jika tidak ditemukan, maka ia berikan di tempat terdekat dari tempatnya (Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi, Ghayah Talkhish al-Murad, halaman 43).
Berdasarkan referensi di atas, menunaikan zakat fitrah yang benar adalah di tempat di mana seseorang berada. Ketika seseorang masih berada di daerah rantau pada saat malam hari raya, maka ia harus menunaikan zakat pada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) yang ada di tempat tersebut.
Namun jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya.
Sedangkan ketika ketentuan demikian tidak dilaksanakan, misalnya orang yang berada di perantauan pada saat malam hari raya, mewakilkan kepada keluarganya di kampung halaman agar membayarkan zakat fitrah atas dirinya dan dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang masalah naql az-zakat (memindahkan pengalokasian harta zakat).
Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:
قال أصحابنا إذا كان في وقت وجوب زكاة الفطر في بلد وماله فيه وجب صرفها فيه فإن نقلها عنه كان كنقل باقي الزكوات ففيه الخلاف والتفصيل السابق
Artinya: Para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkata: ‘Ketika seseorang pada saat wajibnya zakat fitrah berada di suatu daerah, dan hartanya juga berada di daerah tersebut, maka wajib untuk menunaikan zakat di daerah tersebut. Jika ia memindahkan pembagian zakatnya (ke tempat yang lain) maka hukumnya seperti halnya hukum memindahkan pembagian zakat yang terdapat perbedaan di antara ulama dan terdapat perincian yang telah dijelaskan (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, halaman 225).
Hal serupa juga dijelaskan dalam kitab Taqriratus Sadidah:
لا يجوزُ نقل الزكاة مِن بلد المُزكّي إلى بلدٍ آخَر عَلى المشْهور
Artinya: Tidak diperbolehkan memindahkan zakat dari negeri muzakki ke negeri lain menurut pendapat yang masyhur dalam Mazhab Syafi’i (Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqriratus Sadidah, [Darul Mirats al-Nabawi, cet. pertama, 2003], halaman 426). Jadi, menurut pendapat Ashab (ulama Syafi’iyah), serta pendapat yang masyhur dan dianggap unggul (rajih) dalam mazhab Syafi’i, memindahkan zakat fitrah dari satu daerah ke daerah lain tidak diperbolehkan. Namun, sekelompok ulama lain, seperti Ibnu Ujail dan Ibnu Shalah, membolehkan naqlu az-zakat (pemindahan zakat). Berikut keterangannya:
الراجح في المذهب عدم جواز نقل الزكاة، واختار جمع الجواز كابن عجيل وابن الصلاح وغيرهما
Artinya: Pendapat yang diunggulkan (rajih) dalam mazhab Syafi’i adalah tidak diperbolehkannya pemindahan zakat. Namun, sekelompok ulama, seperti Ibnu Ujail, Ibnu Shalah, dan lainnya, memilih pendapat yang memperbolehkan pemindahan zakat tersebut (Syekh Abdurrahman bin Husain Ba’alawi, Bughyatul Musytarsyidin, [Beirut, Darul Fikr, t.t.], juz I, halaman 217).
Namun, apabila di tempat di mana pembayar zakat berada tidak ditemukan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat), seperti jika daerah tersebut telah menjadi makmur dan sejahtera, maka pemindahan alokasi harta zakat (naqlu az-zakat) diperbolehkan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu:
وقال الشافعية الأظهر منع نقل الزكاة، ويجب صرفها إلى الأصناف في البلد الذي فيه المال الحديث معاذ المتقدم، فإن لم توجد الأصناف في البلد الذي وجبت فيه الزكاة، أو لم يوجد بعضهم، أو فضل شيء عن بعض وجد منهم، نقلت إلى أقرب البلاد لبلد الوجوب
Artinya: Para ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pendapat yang lebih kuat adalah melarang pemindahan zakat, dan zakat wajib disalurkan kepada golongan yang berhak (ashnaf) di negeri tempat harta itu berada, sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’adz yang telah disebutkan sebelumnya.Namun, jika di negeri tempat zakat itu diwajibkan tidak ditemukan golongan yang berhak menerima zakat, atau hanya sebagian dari mereka yang ada, atau terdapat kelebihan setelah diberikan kepada mereka yang ada, maka zakat dapat dipindahkan ke negeri terdekat dari tempat kewajiban zakat tersebut (Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Dar al-Fikri: 1985), juz 2, halaman 892-893).
Beberapa referensi menjelaskan bahwa pemindahan zakat (naqlu az-zakat) diperbolehkan dengan berbagai alasan, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Jamal:
مِنْ مُرَاجَعَةِ الثِّقَاتِ مِنْهُمْ أَنَّ النَّقْلَ يَجُوزُ لِدُونِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ مُطْلَقًا أَيْ سَوَاءٌ كَانَ الْمَنْقُولُ إلَيْهِ أَحْوَجَ مِنْ أَهْلِ بَلَدِ الزَّكَاةِ أَوْ لَا وَسَوَاءٌ زَكَاةُ الْفِطْرِ وَالنَّقْدِ وَالْمَاشِيَةِ وَالنَّابِتِ، وَأَمَّا نَقْلُهَا إلَى مَا فَوْقَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ فَلَا يَجُوزُ إلَّا إذَا كَانَ الْمَنْقُولُ إلَيْهِ أَحْوَجَ مِنْ أَهْلِ بَلَدِ الزَّكَاةِ وَإِلَّا فَلَا يَجُوزُ
Artinya: Berdasarkan pendapat para ulama terpercaya, pemindahan zakat diperbolehkan jika jaraknya kurang dari masāfatul qashr (jarak yang membolehkan qasar dalam salat), baik tempat tujuan lebih membutuhkan dibanding penduduk negeri asal zakat maupun tidak, serta berlaku untuk semua jenis zakat, termasuk zakat fitrah, zakat uang, hewan ternak, dan hasil pertanian.
Namun, jika pemindahan zakat melebihi masāfatul qashr, maka tidak diperbolehkan kecuali jika tempat tujuan lebih membutuhkan dibanding penduduk negeri asal zakat. Jika tidak demikian, maka pemindahan zakat tidak diperbolehkan (Sulaiman bin Umar al-Ajiili, Hasyiyatul Jamal, [Beirut, Dar al-Fikr, t.t.], juz IV, halaman 108).
Maka dapat disimpulkan bahwa wajib bagi orang yang berada di perantauan agar menunaikan zakat fitrah di tempat di mana ia berada pada saat malam hari raya. Kebiasaan menunaikan zakat fitrah di kampung halaman bagi orang yang masih berada di perantauan tidak bisa dibenarkan, kecuali menurut sebagian ulama yang memperbolehkan naql az-zakat. Juga dalam beberapa kondisi berikut:
- Jika di tempat tersebut tidak ditemukan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat).
- Jika pemindahan zakat masih dalam jarak yang kurang dari masāfat al-qasr (jarak yang membolehkan qashar dalam salat).
- Jika di daerah yang lebih jauh terdapat mustahiq zakat yang lebih berhak menerimanya, meskipun jaraknya melebihi jarak minimal dibolehkannya qashr. Demikianlah penjelasan yang dilansir dari NU Online tentang bagaimana dan di mana orang perantauan membayar zakatnya.