Kedua, pendapat seperti diceritakan oleh Imam Al Haromain bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama).
Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arofah. Imam Al Haromain berkata,
“Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf”.
BACA JUGA: 5 Hal ini Harus Diperhatikan Saat Olahraga Ketika Menjalankan Ibadah Puasa
Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid.
Kemudian pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.
Pendapat keempat seperti dikisahkan l oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh mamalam
Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf.
BACA JUGA: Pemerintah Izinkan Pelaksanaan Shalat Tarawih Selama Ramadhan 1442 H
Haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.
Pendapat Mayoritas Ulama
Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.
BACA JUGA: Bagi Warga di Sekitar Rumah Ibadah Bisa Mengajukan Pinjaman
Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid.
Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.” Lihat Al Majmu’ 6: 489.