Scroll untuk baca artikel
Lampung

“Iuran di Balik Tembok Sekolah, Ketika Janji Bebas Pungutan Tercoreng oleh Kenyataan”

×

“Iuran di Balik Tembok Sekolah, Ketika Janji Bebas Pungutan Tercoreng oleh Kenyataan”

Sebarkan artikel ini

LAMPUNG SELATAN – Semangat Gubernur Lampung untuk menghapus pungutan komite di sekolah negeri seolah mendapat tamparan keras. Sebuah drama menyayat hati tengah bergulir di balik pagar Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Lampung Selatan.

Di tengah upaya keras pemerintah untuk membebaskan dunia pendidikan dari segala bentuk pungutan, sebuah kenyataan pahit terkuak wali murid di MTsN 2 diduga masih harus memikul beban iuran hingga Rp250.000 per siswa untuk pembangunan ruang kelas yang disebut “sudah tidak layak pakai.”

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Padahal, berdasarkan Permendikbud No. 75 Tahun 2016, komite sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun kepada wali murid. Namun realitas di lapangan berkata lain. Ada yang patuh pada peraturan, tapi ada pula yang memilih berjalan di jalur abu-abu, atau bahkan gelap.

“Saya bingung, Pak… uang dari mana lagi? Anak saya tiga-tiganya sekolah,” keluh salah satu ibu wali murid yang enggan disebut namanya, sembari menyeka air mata di halaman sekolah.

BACA JUGA :  SMK Islam Tunas Bangsa di Lampung Timur Diduga Bodong, Sudah Terima Siswa Baru?

Bagi sebagian orang, Rp250 ribu mungkin tidak seberapa. Tapi bagi ibu rumah tangga di pelosok desa Sukaraja, jumlah itu bisa setara dengan kebutuhan dapur selama dua minggu.

Ironisnya, pungutan tersebut dilakukan atas nama komite sekolah, meski dalam balutan alasan yang terdengar mulia: rehabilitasi bangunan sekolah yang tak layak pakai. Tapi, apakah kemuliaan tujuan bisa membenarkan pelanggaran aturan?

Saat tim media mencoba mengonfirmasi langsung ke sekolah pada Selasa (10/6/2025) pagi, suasana tampak seperti sebuah panggung yang menyiapkan diri untuk pertunjukan tertutup. Di balik gerbang, para pekerja tampak sibuk memperbaiki ruang kelas. Namun akses media untuk melihat lebih dekat dihalangi langsung oleh Waka Kesiswaan.

“Belum ada izin dari kepala sekolah atau ketua komite,” ujarnya sambil menahan langkah kami, seolah bangunan itu menyimpan rahasia yang belum waktunya terbuka sebagaimana dilansir dari indeptnews.

BACA JUGA :  Dua Pasien Positif Covid-19 di Lampung, Sembuh

Kepala sekolah, Dr. Hi. Garum, S.Pd.I., M.Pd., tidak berada di tempat. Saat dihubungi via WhatsApp, beliau hanya memberikan jawaban singkat dan mengarahkan awak media untuk bertanya pada wakilnya. Ketua komite? Ia sedang berada di Polres karena “ada urusan.”

“Saya Hanya Ingin Sekolah Ini Maju”

Ketika akhirnya berhasil menghubungi Ketua Komite Sapuan Efendi, ia membenarkan adanya pungutan. Menurutnya, sumbangan tersebut “diperlukan” untuk memperbaiki ruang kelas yang sudah terlalu tua dan membahayakan siswa.

“Jumlahnya Rp250 ribu per siswa. Yang sudah menyetor ada sekitar 270 dari total 500 siswa di lokal Sukaraja,” ujar Sapuan dengan nada tenang.

Ia bahkan menyampaikan bahwa kepemimpinan komite sebelumnya tidak transparan, dan selama ia menjabat enam bulan terakhir, barulah ada progres pembangunan. Tapi tetap, “sumbangan” yang dibebankan secara nominal dan tidak bersifat sukarela bertentangan dengan aturan.

MTsN 2 Lampung Selatan memiliki total 848 siswa, tersebar di dua lokasi: Desa Sukaraja dan Kalirejo. Jika satu siswa dikenai iuran Rp250.000, maka total dana yang terkumpul bisa mencapai lebih dari Rp200 juta, jika seluruh siswa dipungut.

BACA JUGA :  Warga Sukacai Digegerkan Penemuan Mayat Tergantung di Kebun Jagung

Namun, pertanyaan yang terus bergema adalah, apakah pungutan ini benar-benar sukarela? Atau sekadar dikemas dalam istilah manis untuk menyembunyikan paksaan terselubung?

Apa arti pendidikan gratis jika para orang tua tetap harus berjuang menyisihkan penghasilan untuk sesuatu yang seharusnya ditanggung oleh negara? Apakah pendidikan benar-benar sedang diperjuangkan, atau justru diperdagangkan?

Gubernur Lampung mungkin tengah menabuh genderang semangat untuk menghapus pungutan. Namun langkah itu bisa runtuh hanya karena satu sekolah yang memilih jalan berbeda, meski dengan dalih membangun.

Kini, kisah MTsN 2 Lampung Selatan menjadi cermin retak atas wajah pendidikan di daerah: penuh semangat, tapi juga sarat drama, konflik kepentingan, dan pelanggaran diam-diam.***