LAMPUNG TIMUR – Tarian kenuy melayang disertai arak-arakan adat dan bunyi gemelan khas Lampung mengiringi prosesi sakral persaudaraan di Desa Peniangan, Marga Sekampung, yang dibalut dalam giat festival Sekappung Limo Migo, Selasa 24 Juni 2025.
Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela, bersama keluarganya, pada kegiatan tersebut resmi “diangken” atau diterima sebagai bagian dari Kebandaran Sekappung Limo Migo sebuah entitas adat Lampung Timur yang mengakar kuat dalam sejarah dan nilai gotong royong masyarakat Lampung Saibatin.
Prosesi tersebut bukan sekadar seremoni simbolik. Ia adalah bukti nyata bahwa adat bukanlah warisan yang usang, melainkan identitas hidup yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Kebandaran Sekappung Limo Migo terdiri dari enam tiyuh atau desa adat: Gunung Sugih Besar, Gunung Raya, Peniangan, Batu Badak, Toba, dan satu tiyuh adat tambahan yang secara historis memiliki peran penting dalam pembentukan kearifan lokal masyarakat Sekampung.
Melalui prosesi “angken waghei” istilah yang bermakna pengangkatan menjadi saudara adat keluarga besar Jihan Nurlela dan kakaknya tokoh politik wanita senior di Bumi Ruwa Jurai Chusnunia Chalim (Nunik) diterima secara sah dan simbolik sebagai bagian dari keluarga besar adat Limo Migo.
Uniknya, anggota DPR RI asal Lampung dan mantan Bupati Lampung Timur ini, kali ini mengajak serta suaminya Erry Ayudiansyah, untuk menjadi bagian dari kemugheian adat Sekappung Limo Migo.
Mereka tidak hanya menyandang status baru dalam tatanan adat, tetapi juga memikul tanggung jawab moral untuk menjaga, merawat, dan meneruskan nilai-nilai luhur budaya tersebut.
Festival Adat yang Bukan Sekadar Pesta
Festival Sekappung Limo Migo yang digelar di Desa Peniangan bukan sekadar karnaval atau atraksi budaya biasa. Di balik arak-arakan dan pertunjukan Tari Kenui Melayang yang ditampilkan secara massal, tersirat makna: “Budaya tidak mati. Ia hidup di napas masyarakatnya.”
Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, yang hadir dalam acara ini, dengan lantang menyuarakan pentingnya gotong royong, kolaborasi, dan kekompakan masyarakat adat sebagai kekuatan utama membangun daerah.
“Ini bukan sekadar festival. Ini adalah jembatan budaya, menyatukan lintas generasi dan menjadi cermin karakter Lampung Timur yang sesungguhnya,” ujar Ela.
Waghei sebagai Simbol Inklusi Sosial
Masuknya keluarga Wakil Gubernur Lampung dalam ikatan adat tidak hanya simbol penghormatan, tetapi juga sinyal kuat terhadap rekonsiliasi antara struktur kekuasaan formal dan otoritas adat.
Prosesi ini menunjukkan bagaimana tradisi bisa bersinergi dengan birokrasi, bagaimana leluhur masih dijadikan rujukan ketika masa kini mencari pijakan.
Di tengah kegaduhan sosial-politik yang kerap melanda birokrasi lokal, Limo Migo hadir sebagai ruang sunyi yang bersuara lantang: bahwa budaya masih bisa menjadi perekat, bukan pemecah.
Refleksi dari Masyarakat
Bagi masyarakat adat, pengangkatan ini juga merupakan pengakuan bahwa mereka masih relevan dan didengar. Di saat banyak desa adat berjuang mempertahankan eksistensinya dari tekanan modernisasi dan eksploitasi alam, pengakuan seperti ini menjadi vitamin sosial yang memperkuat akar budaya.
Warga Desa Peniangan, di sela keramaian festival, menyambut baik keterlibatan tokoh-tokoh daerah dalam kegiatan adat.
“Kami senang, pemimpin datang tidak hanya membawa jabatan, tapi mau duduk bersama kami dalam balutan budaya,” ujar Buhari Muslim, sesepuh adat Desa Gunung Sugih Besar.
Kebandaran Sekappung Limo Migo telah lama menjadi poros sosial masyarakat adat di Lampung Timur. Ia bukan sekadar lembaga seremonial, tetapi struktur kepemimpinan horizontal yang menjamin stabilitas, menyelesaikan konflik, dan membentuk moral kolektif masyarakat.
Dalam dunia yang kian pragmatis, keberadaan dan penguatan bandaran semacam ini menjadi tameng terakhir dari kepunahan identitas.
Angken waghei yang dilaksanakan oleh keluarga Wakil Gubernur bukan hanya seremonial adat.
Ia adalah simbol keberlanjutan, continuity antara elite dan akar rumput. Antara generasi pendahulu dan generasi pelanjut. Antara sejarah dan harapan.
Desa Peniangan, tempat sejarah Limo Migo tertulis dari generasi ke generasi, persaudaraan baru lahir. Tidak karena darah, tetapi karena adat yang merangkul.***