WAWAINEWS – Tampaknya kita kerap alpa dalam menyikapi pembangunan, terutama yang dianggap budaya lokal atau kearifan lokal.
Kearifan lokal seakan disikapi apa yang terdapat dalam diri manusia dan dibawa ke mana pergi (merantau).
Misal, seseorang beretnis Jawa atau Bali atau lainnya, ketika merantau maka “kampung budaya”-nya turut serta. Tanpa melihat di tanah dia berpijak. Peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” seperti terhapus oleh euforia kearifan lokal yang melekat dalam dirinya.
Sampai-sampai seluruh budaya yang ada di kampung kelahiran mesti dibawa atau dimonumenkan di tempat baru (tanah rantauan).
Tidak heran, kampung-kampung beretnis dan pendatang diwarnai budaya “bawaan”. Sementara budaya “tempatan” seperti terkikis.
Apa yang saya urai ini dapat dibuktikan, misalnya pembangunan patung Semar di beberapa wilayah di Lampung. Atau “warna Bali” di perkampungan yang dihuni mayoritas etnis Bali.
Pertanyaan yang dapat saya ajukan, di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung? Apakah dengan pembangunan patung atau sejenisnya di bumi Lampung, sama artinya telah “melukai” ke-budaya-an etnis Lampung sebagai “pemilik” turun temurun.
Memang setiap diri kita tertanam kampung dan budaya ibu/kelahiran, tapi tidak serta-merta dipindahkan di tanah rantau yang baru.
Harus jaga perasaan suku asli di mana kita berpijak.
(Isbedy Stiawan ZS)