LAMPUNG TIMUR – Pemerintah kembali menorehkan janji di atas kertas. pada Selasa (28/10/2025), Kementerian Pemberdayaan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) bersama Pemerintah Kabupaten Lampung Timur menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang peningkatan layanan dan pelindungan bagi pekerja migran Indonesia.
Acara berlangsung khidmat di Kantor KemenP2MI, Jakarta, disaksikan langsung oleh Menteri P2MI Mukhtarudin dan Bupati Lampung Timur Ela Siti Nuryamah beserta jajaran pejabat terkait.
Sebuah Janji yang Selalu Baru
Bagi banyak buruh migran asal Lampung Timur salah satu kantong pengirim terbesar pekerja migran ke luar negeri penandatanganan ini terdengar seperti lagu lama yang diaransemen ulang.
Judulnya berbeda, tapi nadanya masih sama: “peningkatan perlindungan, pemberdayaan, dan sinergi”.
Namun kali ini, Menteri Mukhtarudin membawa nada yang sedikit lebih optimistis. Ia menyebut MoU tersebut sebagai perwujudan arahan Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya peningkatan kualitas dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
“Bapak Presiden menekankan pentingnya peningkatan kualitas pekerja migran melalui sekolah vokasi baik dari sisi bahasa maupun keahlian. Kami ingin Pemkab Lampung Timur aktif dalam sosialisasi penempatan pekerja migran yang aman serta pembentukan Desa Migran Emas,” ujar Mukhtarudin.
Dalam bahasanya, pelindungan bukan sekadar soal dokumen, tapi juga martabat. Ia menyinggung program prioritas KemenP2MI, mulai dari tata kelola pelindungan, quick win Presiden, peningkatan kapasitas dari low skilled menjadi medium-high skilled, hingga pemberdayaan purna pekerja migran agar tak kembali ke lingkaran kemiskinan.
Lampung Timur: Dari Lumbung Migran ke Lumbung Harapan
Bupati Ela Siti Nuryamah menyambut baik kesepakatan ini. Ia menyebut kerja sama tersebut sebagai langkah strategis memperbaiki wajah pelayanan pekerja migran di daerahnya, yang selama ini lebih sering dikenal lewat kisah pilu, penipuan agen, gaji tak dibayar, atau kepulangan tanpa sambutan.
“Pemkab Lampung Timur berkomitmen meningkatkan pelayanan dan pelindungan bagi pekerja migran, salah satunya melalui pembentukan Pos Pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P4MI) di daerah kami,” ujar Ela.
Ia berharap, dengan hadirnya pos ini, para calon pekerja migran tak lagi berangkat “gelap”, tak lagi belajar bahasa asing di terminal, dan tak lagi pulang hanya untuk disambut berita duka.
“Kami ingin pelayanan yang mudah, cepat, aman, murah, dan dekat,” tegasnya.
Antara MoU dan Realitas di Lapangan
Setiap penandatanganan MoU memang tampak indah di kamera. Ada pena, map berlogo, dan senyum diplomatis. Tapi di balik itu, masih banyak pertanyaan yang menggantung:
Bagi sebagian besar pekerja migran, MoU hanyalah dokumen di dunia yang berbeda dunia ber-AC, berjas, dan bermeja panjang. Sementara di kampung-kampung Lampung Timur, mereka masih sibuk mencari biaya administrasi dan ongkos medis sebelum bisa berangkat.
Dari Pena ke Perubahan
Meski begitu, secercah harapan tetap ada. Jika implementasi MoU ini benar-benar dijalankan mulai dari pelatihan vokasi, penempatan resmi, hingga pemberdayaan purna migran maka kerja sama ini bisa menjadi momentum penting untuk mengubah nasib ribuan keluarga di desa-desa pengirim migran.
Karena di balik angka remitansi dan jargon “pahlawan devisa”, selalu ada wajah-wajah perempuan yang berangkat dengan harapan besar dan pulang dengan cerita yang tak selalu ingin diulang.
KemenP2MI dan Pemkab Lampung Timur kini memegang kunci: apakah MoU ini akan menjadi bukti politik keberpihakan, atau sekadar ritual tahunan yang mengulang kata “sinergi” tanpa isi.
Rakyat pekerja migran tak butuh banyak seremoni. Mereka hanya ingin keadilan, kepastian, dan kepulangan yang manusiawi.
Satu MoU tak akan mengubah segalanya, tapi setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa perlindungan pekerja migran bukan urusan belas kasihan melainkan kewajiban negara.
Dan di atas kertas bertanda tangan itu, semoga tinta yang menorehkan janji benar-benar berubah menjadi tindakan.***















