TANGGAMUS — Pengelolaan Pasar Pekon Kuripan di Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus, Lampung, kembali menjadi sorotan. Proyek yang dibiayai dari Dana Desa Tahun Anggaran 2021 tersebut kini memunculkan tanda tanya besar mengenai tata kelola dan pemanfaatan aset desa, setelah terungkap adanya pengembalian kerugian negara sebesar Rp116 juta oleh Kepala Pekon Kuripan, Ansorudin.
Informasi tersebut dikonfirmasi langsung oleh Sekretaris Inspektorat Kabupaten Tanggamus, Gustam Apriansyah, yang membenarkan bahwa pengembalian dana telah dilakukan ke kas pekon.
“Benar, saat itu ada pengembalian kerugian negara sekitar Rp116 juta oleh Kepala Pekon Kuripan. Dari sisi administratif, kasus itu sudah diselesaikan,” ujar Gustam saat dikonfirmasi, Rabu (29/10/2025).
Meski demikian, Gustam menegaskan bahwa penyelesaian administratif bukan berarti menghapus kewajiban pemerintah pekon untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset desa yang telah dibangun menggunakan uang negara.
“Kalau pasar itu memang dikelola oleh BUMDes, maka pendapatan dan hasil pengelolaannya harus jelas. Jika disewakan kepada pihak ketiga, misalnya kepada MBG, maka legalitas dan mekanisme kerjasamanya juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat berhak tahu bagaimana aset publik itu dikelola,” tegasnya.
Polemik Pengelolaan Aset
Pasar Pekon Kuripan dibangun menggunakan dana ratusan juta rupiah dari Dana Desa Tahun 2021, dengan tujuan awal sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat setempat. Namun, dalam praktiknya, pasar tersebut hingga kini belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Bangunan yang diresmikan pada tahun 2022 itu dilaporkan tidak pernah aktif sebagai lokasi perdagangan, bahkan sebagian areanya disebut telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa kejelasan mekanisme kerja sama dan alur pendapatan untuk desa maupun BUMDes.
Sejumlah warga Kuripan menyebut pasar yang semestinya menjadi penggerak ekonomi desa justru beralih fungsi dan tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
“Kami tidak tahu apakah pasar itu masih milik desa atau sudah disewakan. Tidak pernah ada penjelasan resmi ke masyarakat,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Respons Kepala Pekon Kuripan
Menanggapi pemberitaan dan sorotan publik, Kepala Pekon Kuripan, Ansorudin, menolak tudingan adanya penyimpangan baru dalam pengelolaan pasar desa. Ia menyebut aktivitas yang berlangsung di area pasar telah melalui kesepakatan dengan BUMDes.
“Jangan asal pemberitaan, bang. Sumbernya tidak jelas. Di situ ada kesepakatan dengan BUMDes, sewa sementara untuk mengisi kekosongan. Jangan asal tuduh. Yang jual material itu warga Kuripan sendiri,” tulis Ansorudin kepada wartawan melalui pesan WhatsApp, Selasa (28/10/2025).
Meski demikian, hingga berita ini diterbitkan, Ketua BUMDes Pekon Kuripan belum memberikan klarifikasi mengenai mekanisme sewa dan status pemanfaatan pasar yang dimaksud.
Transparansi dan Akuntabilitas Jadi Kunci
Kasus Pekon Kuripan menjadi cerminan nyata bagaimana lemahnya implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa, terutama dalam proyek fisik yang melibatkan aset publik.
Padahal, sesuai dengan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, seluruh kegiatan yang menggunakan Dana Desa wajib dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif, dan dilakukan dengan tertib serta disiplin anggaran.
Praktik pengelolaan yang tertutup dan minim komunikasi publik seperti yang terjadi di Kuripan justru membuka ruang bagi munculnya kecurigaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa.
Pemerhati kebijakan publik di Tanggamus menilai, penyelesaian administratif atas temuan keuangan tidak serta-merta menghapus kewajiban moral pejabat desa untuk membuka informasi penggunaan dana publik.
“Mengembalikan uang negara bukan berarti masalah selesai. Transparansi tetap harus ditegakkan, karena publik berhak tahu bagaimana dana ratusan juta itu dimanfaatkan,” ujar salah satu pemerhati kebijakan publik di Tanggamus.
Cermin Pengawasan Dana Desa di Daerah
Kasus Pasar Kuripan menambah daftar panjang lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa di tingkat pekon. Meski setiap tahun pemerintah pusat menyalurkan triliunan rupiah untuk pembangunan desa, masih banyak kasus di lapangan yang menunjukkan pengelolaan tidak optimal, rawan penyimpangan, dan minim transparansi.
Inspektorat Tanggamus diharapkan dapat memperkuat mekanisme pengawasan serta memastikan seluruh aset hasil pembangunan desa memiliki kejelasan status, legalitas pemanfaatan, dan kontribusi ekonomi bagi masyarakat.
Jika tidak, proyek yang dibiayai dari uang rakyat berpotensi kembali menjadi aset tidur, bahkan sumber persoalan hukum baru di kemudian hari.***















