Scroll untuk baca artikel
Opini

Jokowi & Pergeseran Isu Struktural–Personal

×

Jokowi & Pergeseran Isu Struktural–Personal

Sebarkan artikel ini
Jokowi Ulang Tahun ke-64

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 11/08/2025

WAWAINEWS.ID – Apa itu “pergeseran isu struktural–personal”?
Pergeseran ini adalah proses mengubah public issues (isu publik) agar tampak seperti personal troubles (masalah pribadi), meminjam konsep dari sosiolog C. Wright Mills. Tujuannya: mengaburkan masalah sebenarnya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Banyak teori komunikasi dan politik sejalan dengan gagasan Mills:

Agenda-Setting Theory (McCombs & Shaw, 1972)
Media dan aktor politik mengarahkan isu apa yang dianggap penting publik. Isu struktural (pengangguran, inflasi, korupsi sistemik) dialihkan menjadi isu personal seperti skandal individu, sifat-sifat, atau kehidupan keluarga pejabat. Isu personal diperkuat agar isu struktural terlupakan.

Framing Theory (Entman, 1993)
Bagaimana isu dibingkai akan memengaruhi cara publik memahaminya. Contoh: krisis ekonomi Asia 1997–1998 yang penuh masalah struktural—korupsi sistemik, nepotisme, otoritarianisme digiring menjadi isu personal: “Soeharto dan keluarganya akar segala masalah.” Padahal, para penuding pun bagian dari sistem yang bermasalah.

Scapegoating / Attribution Theory (Allport, 1954; Heider, 1958)
Publik cenderung diarahkan untuk mencari satu “kambing hitam” dari masalah kompleks. Inflasi atau korupsi yang sifatnya sistemik cukup “diselesaikan” dengan menyalahkan satu figur.

Issue-Attention Cycle (Downs, 1972)
Minat publik terhadap isu menurun cepat. Pergeseran perhatian dilakukan dengan menimpa isu lama dengan isu baru.

Distraction Politics / Diversionary Theory (Buhaug & Gates, 2002; Tir & Jasinski, 2008)
Pemimpin atau aktor politik memunculkan isu alternatif termasuk serangan personal untuk mengalihkan sorotan dari kelemahan struktural.

Studi Kasus: PDIP–Jokowi
Fenomena ini relevan untuk melihat pola relasi PDIP dan Presiden Joko Widodo.

PDIP menikmati kekuasaan pasca-reformasi. Puncak kejayaan pertama saat Megawati menjadi presiden, lalu meredup di era SBY. PDIP kembali menanjak ketika mengusung Jokowi yang mereka sebut “petugas partai” menjadi presiden. Kabinet Jokowi pun diisi banyak kader PDIP pada posisi strategis.

Namun setelah menjabat, Jokowi diserang isu personal: ijazah palsu, pengkhianatan terhadap partai, hingga berbagai kebijakan yang dianggap janggal. Pertanyaannya:
Jika Jokowi adalah “petugas partai” yang menjalankan misi PDIP, mengapa kesalahan pemerintahannya dibebankan hanya kepadanya?

Hipotesanya: PDIP berupaya memisahkan diri dari beban 10 tahun pemerintahan Jokowi. Kesalahan rezim dipersonalisasi agar citra PDIP tetap bersih dan elektabilitas terjaga. Strategi ini mencegah PDIP merosot menjadi middle-tier party.

Mengatur Imajinasi Publik
Sejak Megawati gagal kembali ke kursi presiden, PDIP harus mencari figur populer yang bisa diterima publik. Jokowi menjadi pilihan, dengan narasi bahwa ia adalah “petugas partai” sehingga kendali PDIP terasa nyata di mata rakyat.

Namun, pasca Jokowi lengser, semua kesalahan dibebankan padanya—termasuk kesan kriminalisasi terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam kasus suap pemilu. Publik pun melupakan fakta bahwa banyak menteri strategis era Jokowi berasal dari PDIP, serta bahwa banyak kepala daerah PDIP juga terseret kasus korupsi. Bahkan kasus Hasto akhirnya diputihkan melalui amnesti.

Polanya Berulang
Mirip dengan kasus Tom Lembong—ikon politik Anies Baswedan—di mana Jokowi kembali diserang isu personal (ijazah, kriminalisasi hukum, kasus lama pengawal Habib Rizieq). Isu ini meredup setelah Hasto mendapat amnesti dan Tom Lembong memperoleh abolisi.

Hipotesa singkat: tudingan-tudingan personal terhadap Jokowi hanyalah alat tawar-menawar politik, untuk membebaskan tokoh-tokoh tertentu serta menghapus kesalahan kolektif PDIP dalam 10 tahun pemerintahan.

Penutup
Mungkinkah demikian?
Dengan pisau analisis teori-teori di atas, kita bisa mulai merangkai puzzle-nya sendiri.

ARS – Jakarta
(rohmanfth@gmail.com)