BEKASI – Dunia pers di Indonesia kembali diuji. Kali ini menimpa Diori Parulian Ambarita, jurnalis media online yang biasa melakukan investigasi yang justru “diinvestigasi balik” oleh sejumlah orang saat meliput dugaan peredaran makanan kedaluwarsa di Desa Mangunjaya, Tambun Selatan, Jumat (26/9/2025) sore.
Ambarita sapaan akrab Pimred Ambarita News yang niatnya hanya datang dengan misi mulia, yakni memotret dan merekam bukti makanan yang sudah seharusnya pensiun dari rak toko. Namun, bukannya makanan yang kadaluarsa yang jadi masalah, justru kebebasan pers yang terasa basi lebih dulu.
Sekitar pukul 15.30 WIB, Ambarita mulai mengabadikan suasana dengan kamera ponselnya. Belum sempat menulis lead berita, ia sudah keburu dijadikan headline: “Jurnalis Dipukuli di TKP”.
Beberapa orang tiba-tiba menghadangnya, bukan untuk wawancara, melainkan untuk aksi main tangan. Tak cukup sampai di situ, telepon genggamnya dirampas bersama seluruh data investigasi.
“Saya ga bisa baca, mata saya ga bisa ngeliat akibat pemukulan yang saya alami. Kondisi saya buruk dan tidak sehat,” ujar Ambar, dengan suara lirih. Singkatnya: ia datang untuk membongkar kasus, malah pulang jadi pasien.
Data Hilang, Muka Bengkak
Selain kehilangan barang bukti liputan, Ambarita harus menanggung luka fisik: matanya bengkak, wajahnya lebam, dan tubuhnya penuh jejak kekerasan.
Beberapa foto yang beredar memperlihatkan kondisi tubuhnya yang jelas-jelas bukan hasil make up, melainkan hasil tangan kosong.
Ironisnya, makanan kedaluwarsa bisa dihapus dari rak, tapi kebebasan pers? Sepertinya masih dipajang di rak paling bawah susah dijangkau.
Kasus ini menambah daftar panjang catatan kelam kebebasan pers di Indonesia. Tindakan kekerasan, intimidasi, dan perampasan alat kerja jurnalis bukan hanya melawan hukum, tapi juga merampas hak publik atas informasi.
Pertanyaan sinisnya, apakah meliput makanan kedaluwarsa sekarang lebih berbahaya daripada mengonsumsi makanannya langsung?.***