Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 19/02/2025
WAWAINEWS – Tagar #KaburAjaDulu sedang viral. Tranding topic. Sudah beberapa hari berlangsung. Tagar itu beriringan dengan ledakan propaganda: “Indonesia gelap”.
Tuntutan aksi “Indonesia gelap” sebenarnya absurd. Kontradiktif dengan aspirasi publik selama ini.
Aksi meminta pembatalan kebijakan Presiden Prabowo dalam melawan in-efisiensi anggaran. Esensi kebijakan itu perang melawan korupsi. Secara preventif-sistemik. Penggunaan anggaran tanpa output terukur dan mengabaikan skala prioritas, esensinya korupsi juga. Penghamburan anggaran. Merugikan rakyat.
Kebijakan melawan in-efisiensi anggaran merupakan problem solver atas keresahan dan kritik publik selama ini. Pelaksanaan program pembangunan bertumpu manajemen keproyekan. Asal proyek terlaksana dan menyerap anggaran.
Paradigma ini diluruskan. Anggaran dialokasikan secara tepat sasaran. Pada program prioritas dan berdampak tinggi untuk kemajuan.
Kenapa perang melawan korupsi preventif-sistemik itu justru dilawan melalui narasi “Indonesia gelap”. Tentu saja sebuah kejanggalan.
Tuntutan berikutnya penolakan rencana IUP bagi Kampus. Alasannya merusak independensi kampus. Penolakan itu melupakan dua hal.
Pengembangan kampus memerlukan pembiayaan. Sebagai badan hukum, kampus memerlukan bisnis penopang.
Kampus juga memerlukan laboratorium implemetasi kekayaan teoritiknya. Sebagaimana fakultas kedokteran memerlukan Rumah Sakit. Untuk riset sekaligus praktik mahasiswa.
Makan Bergizi Gratis (MBG) dimusuhi. Program itu baru saja akan berjalan. Sebagai salah satu revolusi SDM Indonesia sejak usia sekolah. Agar mampu memanfaatkan momentum bonus demografi. Banyak negara menerapkan itu. Anehnya ditolak oleh aksi “Indonesia Gelap”.
Di antara tuntutan-tuntutan itu terdapat satu tuntutan masuk akal. Meminta Presiden Prabowo menerbitkan Perppu Perampasan Aset Koruptor.
Selebihnya tuntutan normatif. Menolak kebijakan tanpa riset. Meminta efisiensi struktur kabinet. Hingga penolakan dwi fungsi ABRI.
Absurd-nya tuntutan itu memperkuat asumsi selama ini. Aksi-aksi itu ekspresi kekecewaan saja dari proses politik yang telah berlangsung. Momentum pilpres dan pilkada. BGM: barisan gagal move on.
Aksi “Indonesia gelap” memunculkan narasi #KaburAjaDulu. Mengasingkan diri ke luar negeri maksudnya. Campaign itu bisa bermakna positif. Bisa juga negatif.
Ke LN untuk menghindari tuntutan hukum tidak dibenarkan. Begitu pula untuk menyelamatkan aset hasil korupsi. Juga jika hanya menghamburkan uangnya di LN. Tipikal hedonis.
Jika ajakan #KaburAjaDulu dimaksudkan untuk bekerja, tentu bagus. Bahkan bukan sesuatu yang baru. TKI (Tenaga Kerja Indonesia) sudah lebih dulu kabur dan bekerja di LN. Kabur untuk tujuan seperti ini harus didorong. Mereka pahlawan devisa.
Sumbangan devisa Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai US$ 14,22 miliar. Setara Rp 230,81 triliun. Sepanjang tahun 2023. Angka itu berdasarkan data BI.
Mereka bekerja di berbagai sektor. Formal: manufaktur, konstruksi, perhotelan dan pariwisata, Kesehatan dan Teknologi Informasi (TI). Sedangkan sektor informal meliputi: pekerja rumah tangga (PRT), pertanian, perikanan, jasa kecantikan.
Pemerintah justru perlu mendorong peningkatan SDM. Mentransformasikan generasi TKI sektor informal menjadi sektor formal. Agar tingkat kesejahterannya meningkat.
Krisis demografi di sejumlah negara maju seperti Jepang menjadi peluang bagi tenaga profesioal Indonesia. Selain mendorong kemajuan dalam negeri, pasar kerja LN tidak bisa diabaikan.
Para pekerja migran itu para nasionalis. Penyumbang devisa. Pembela keluarga. Ia kabur ke LN untuk membela keluarganya di Indonesia.
Campaign #KaburAjaDulu tentunya bisa bermakna positif. Asal tidak melarikan aset bangsa ke LN. Atau lari dari tuntutan hukum.
Jika kabur ke LN hanya untuk menghamburkan uang. TKI lebih nasionalis. Lebih memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)