JAKARTA – Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) akhirnya turun gunung. Bukan untuk seminar, melainkan untuk mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak kehilangan taring di tengah bau amis dana CSR Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini menyeruak ke permukaan.
Sebagaimana dilansir Wawai News, pada Kamis, 23 Oktober 2025, KAHMI mendatangi Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, membawa satu pesan keras namun elegan. “Jangan biarkan enam anggota DPR Golkar melenggang tanpa diperiksa.”
Koordinator KAHMI, Hamdan, menyebut penyelidikan kasus ini sudah terlalu lama mengambang.
“Kalau KPK masih menunggu waktu yang tepat, hati publik keburu basi,” ujarnya dengan nada tajam.
Enam anggota DPR yang dimaksud disebut berinisial SMJ, KHR, MM, PAK, MHD, dan ZAS. Mereka diduga ikut bermain dalam aliran dana CSR dari BI dan OJK yang semestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat bukan untuk menyuburkan rekening pribadi atau membiayai proyek pencitraan politik.
“CSR itu singkatannya seharusnya Corporate Social Responsibility, bukan Cair Sebagian untuk Rekan,” sindir Hamdan, disambut tawa para jurnalis yang hadir.
Hamdan menegaskan, publik bukan lagi penonton bodoh.
“Ketika ada anggota dewan yang bicara soal moral di depan kamera, tapi di belakang menerima transfer ‘sosial’, itu bukan hanya ironi, tapi penghinaan terhadap akal sehat rakyat,” katanya pedas.
Desakan KAHMI muncul setelah Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memastikan bahwa seluruh anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024 akan diperiksa terkait penyaluran dana CSR BI-OJK tahun 2020–2023.
Menurut Tanak, sebagian anggota dewan “ada yang menerima”. Namun publik menilai, penyelidikan itu bergerak pelan dan selektif seperti menyisir pasir dengan sendok teh.
KPK sendiri sudah menetapkan dua tersangka dari kasus ini, Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori (NasDem). Keduanya diduga mengarahkan dana CSR ke yayasan pribadi yang fungsinya sekadar formalitas.
“Yayasannya ada, tapi kegiatannya nihil. Mungkin hanya aktif saat menandatangani kuitansi,” ucap Hamdan dengan nada sinis.
Menurutnya, langkah KPK baru sebatas “uji mikrofon” sebelum konser besar dimulai.
“Kami menunggu apakah KPK berani memanggil nama-nama besar dari partai kuning yang konon ‘bersih dan bekerja’. Kalau tidak, ya publik tahu sendiri siapa yang sebenarnya diselamatkan,” tambahnya.
KAHMI mengingatkan bahwa kasus ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal integritas lembaga legislatif yang makin tergerus oleh praktik culas.
“Kalau dana sosial saja disulap jadi dana pribadi, bagaimana nasib rakyat yang masih menunggu janji kesejahteraan?” tanya Hamdan retoris.
Ia menilai KPK kini diuji, apakah masih menjadi lembaga penegak hukum independen, atau berubah menjadi “Komisi Pengatur Kesabaran” bagi masyarakat yang menanti keadilan.
“Rakyat sudah lelah dengan drama panjang. KPK sebaiknya berhenti menunggu aba-aba, dan mulai bertindak seperti lembaga yang dibayar dari uang rakyat bukan dari rasa sungkan,” katanya.
KAHMI menutup aksinya dengan pernyataan lugas, mereka tidak ingin kasus CSR BI-OJK berakhir di meja jumpa pers, seperti banyak kasus lain yang mati pelan-pelan di tengah jalan.
“Kalau KPK benar-benar berkomitmen, buka semua aliran dananya, siapa pun penerimanya, dari partai mana pun. Jangan pilih warna bendera partai untuk menentukan siapa yang diperiksa,” tegas Hamdan.
Ia juga menyindir lembaga keuangan negara agar tak lagi menyalurkan dana CSR seperti melempar amplop ke udara.
“BI dan OJK perlu belajar, kalau mau bantu rakyat, jangan lewat politisi. Mereka pandai bicara soal kepentingan publik, tapi paling jago soal rekening pribadi,” katanya menutup pernyataan dengan senyum getir. ***













