Scroll untuk baca artikel
Opini

Kaleidoskop 2025: Isu Politik dan Kelemahan Komunikasi Publik Kabinet

×

Kaleidoskop 2025: Isu Politik dan Kelemahan Komunikasi Publik Kabinet

Sebarkan artikel ini
Foto: Ilustrasi

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 30/12/2025

WAWAINEWS.ID – Sepanjang 2025, politik Indonesia diwarnai dinamika intens. Meskipun jika ditelaah lebih jauh, tidak ada isu substansial yang benar-benar menggoyahkan fondasi pemerintahan atau menyingkap kegagalan kebijakan strategis.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tahun ini ditandai empat kluster utama isu politik.

Kluster pertama muncul dari ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan efisiensi yang dilakukan presiden. Langkah-langkah efisiensi tersebut berupa pemangkasan anggaran seremonial dan pengelolaan belanja negara agar lebih tepat sasaran. Sejatinya dirancang untuk mengurangi pemborosan dan potensi korupsi yang selama ini menumpuk di berbagai lini birokrasi. Dialokasikan untuk program prioritas dan lebih membutuhkan.

Namun, sebagian pihak memandang kebijakan ini merugikan. Penolakan paling nyata diduga muncul dari mereka yang selama ini diuntungkan oleh pemborosan anggaran itu. Mungkin juga datang dari berbagai pihak yang selama ini terlibat atau diuntungkan dalam praktik koruptif. Kekecewaan ini kemudian dibingkai dalam beragam narasi protes. Kemudian berkembang menjadi gerakan simbolik seperti “Indonesia Gelap” atau “Indonesia Kabur”. Bertemu dengan kelompok kecewa pilpres.

Gerakan ini mengekspresikan kekecewaan yang sebagian besar bersifat persepsi ketidakadilan terhadap redistribusi anggaran. Bukan kerugian riil masyarakat. Lambatnya pemerintah membangun kontra narasi yang meyakinkan, memberi ruang bagi disinformasi dan narasi oposisi berkembang.

Protes simbolik itu memicu demonstrasi besar, seperti perombakan kabinet, dan reformasi legislatif. Termasuk tuntutan: “bersihkan orang-orang Jokowi dari kabinet”. Meskipun substansinya sebagian besar simbolik, insiden tragis seperti tewasnya driver ojek di Jakarta menambah tekanan publik. Menjadi katalis gelombang protes semakin meluas.

BACA JUGA :  Program Kemenkop, Hanya Mengulang Kebijakan Lawas

Isu kedua yang mencuat adalah kontroversi terkait ijazah Presiden Joko Widodo. Sepanjang tahun, tuduhan palsu terhadap ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo terus diangkat oleh sebagian pihak. Baik dengan motif politik maupun sebagai upaya mengelola opini publik.

Polemik ini memunculkan pertarungan sengit di media mainstream dan media sosial. Sebagian menilai sebagai skenario lepas tanggung jawab dari kemarahan publik. Kesalahan rezim masa lalu sepenuhnya dibebankan pada presiden Jokowi. Sementara aktor lain (PDIP) yang memiliki keterkaitan atau keuntungan politik (sebagai pengusung presiden) cenderung tidak disorot dan disalahkan.

Sebagian lain menduga isu ijasah palsu dikelola pihak-pihak yang secara politik terhalangi oleh modalitas politik Jokowi yang masih populer. Merupakan ancaman bagi masa depan politiknya sehingga Jokowi harus disudutkan.

Kedua kemungkinan itu tetap membawa nuansa perseteruan pilpres 2024 terus hidup. Mencerminkan dinamika gagal move on pilpres.

Positifnya, isu ini tetap dalam domain hukum. Bareskrim Polri melakukan verifikasi dokumen dan memastikan keasliannya. Berkat intervensi hukum yang jelas, isu ini tidak memicu gelombang protes massal. Berbeda dengan gerakan simbolik terkait kebijakan efisiensi. Isu ijazah masih dalam kerangka peradilan. Ketidakpuasan atas keterangan bareskim pun tetap berujung pada proses peradilan.

Kluster ketiga adalah tarik ulur terkait pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Isu ini menimbulkan perdebatan panjang antara proyeksi pembangunan jangka panjang pemerintah dan kekhawatiran publik mengenai biaya proyek besar. Termasuk aspek transparansi, dan dampak sosial bagi masyarakat lokal di Kalimantan Timur.

Pada 2025, pemerintah menetapkan IKN sebagai ibu kota politik mulai difungsikan secara bertahap pada 2028. Menegaskan keputusan strategis yang telah dipertimbangkan selama bertahun-tahun tidak direvisi. Tidak ada perubahan terhadap skenario pemindahan ibu kota itu.

BACA JUGA :  Reformasi Kepolisian: Membongkar Warisan Kolonial, Membangun Aparat Demokratis

Meskipun kontroversi ini menimbulkan diskusi nasional dan menambah ketegangan opini publik, skala protes tetap lebih kecil dibanding gelombang “Indonesia Gelap”. Isu ini bersifat teknokratis dan memerlukan pemahaman mendalam tentang perencanaan pembangunan.

Kluster keempat berkaitan dengan blunder pejabat dan kontroversi kebijakan daerah. Kasus seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di Pati, Bone, dan Cirebon. Pernyataan pejabat yang tidak sensitif. Kontroversi tunjangan anggota DPR. Anggota DPR jogged-joged ketika kenaikan tunjangan.

Insiden pembakaran rumah pejabat memperlihatkan blunder itu. Sekaligus cerminan kelemahan komunikasi publik dan koordinasi di tingkat pusat maupun daerah. Kekecewan itu terus membesar dan terakumulasi menjadi ledakan kemarahan.

Kasus Pati, misalnya, menimbulkan protes publik secara signifikan. Warga menilai kenaikan pajak secara drastis tidak adil dan tidak dikomunikasikan dengan baik. Fenomena ini menunjukkan bahwa selain isu nasional, kegagalan manajemen kebijakan lokal dapat memicu gelombang kritik yang memperkuat persepsi publik bahwa pemerintah tidak responsif.

Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan lebih 12 kabupaten/kota mengalami protes publik terkait pengelolaan pajak dan anggaran lokal sepanjang 2025. Menegaskan jika tren ketidakpuasan itu memang meluas.

Empat kluster utama isu ini bertautan/bersisiran dengan manuver para koruptor (dibuktikan vonis pengadilan) beserta pendukungnya, agar bisa keluar dari jeratan hukum. Kasus amnesti terhadap Hasto dan abolisi terhadap Tom Lembong menjadi contoh bagaimana gelombang protes dan tekanan publik bisa diduga digunakan sebagai bargaining politik dalam menekan proses hukum.

BACA JUGA :  Kolompencapir dan (Perasaan) Terabaikan

Setelah kedua tokoh memperoleh amnesti dan abolisi, gelombang protes mereda. Menunjukkan bahwa sebagian tekanan publik dapat dimitigasi melalui langkah simbolis untuk memperoleh keringanan hukum atau perlindungan politik.

Dari keseluruhan peristiwa, sepanjang 2025 tidak ada isu politik substantif yang benar-benar menguak kesalahan atau kegagalan mendasar presiden. Tuntutan menjadikan bencana Sumatera sebagai “Bencana Nasional” menguat. Akan tetapi segera dijawab dengan kerja cepat kabinet.

Tingkat kepuasan menunjukkan kebijakan-kebijakan presiden masih on the track. Isu-isu yang diarahkan kepada presiden, tidak memiliki daya pukul psikologis secara politik dan mudah dipatahkan.

Namun, kegagalan pemerintah dalam mengelola isu publik, terutama dalam membangun kontra narasi yang cepat dan meyakinkan, menyebabkan narasi simbolik dan disinformasi berkembang massive. Dimanfaatkan oleh pihak oposisi, dan berhasil memobilisasi publik. Kasus pembakaran rumah anggota DPR mencerminkan kegagalan komunikasi dan kontrol publik daripada masalah kebijakan strategis. Joget-joget dan kenaikan tunjangan menjadi triger untuk mengadili DPR.

Keseluruhan tahun 2025 menegaskan jika konflik politik besar tidak selalu lahir dari kesalahan kebijakan substansial. Gelombang protes lebih merupakan akibat kombinasi kegagalan komunikasi publik, manajemen isu yang lambat, dan manipulasi narasi oleh pihak-pihak berkepentingan.

Kaleidoskop politik Indonesia tahun ini menunjukkan pemerintah perlu lebih proaktif dalam membangun transparansi, komunikasi, dan kontra narasi berbasis fakta. Agar isu simbolik atau minor tidak berkembang menjadi gelombang protes besar, berdampak luas dan merugikan stabilitas politik.

Jakarta, ARS (rohmanfth@gmail.com).