Scroll untuk baca artikel
Opini

Kang Dedi Mulyadi dan ‘Kepemimpinan Inisiatif’

×

Kang Dedi Mulyadi dan ‘Kepemimpinan Inisiatif’

Sebarkan artikel ini
Foto Kang Dedi Mulyadi usai dilantik sebagai Gubernur Jabar di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (20/2/2025).
Foto Kang Dedi Mulyadi usai dilantik sebagai Gubernur Jabar di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (20/2/2025).

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Kang Dedi Mulyadi (KDM) sapaan populer Gubernur Jawa Barat periode 2025-2030. Viral oleh gagasan-gagasan dan program anti mainstreamnya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Minggu-minggu ini sepak terjang Kang Dedi Mulyadi menggeser dua isu besar: tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Jokowi dan “Petisi Copot Wapres” oleh Purnawirawan TNI.

Bagaimana ia begitu viral. Inisiatifnya disambut luas masyarakat bawah. Walau harus berhadapan dengan “kemarahan kaum statusquo dan elitisime birokrat” beserta kaki tangannya.

Kita harus mempelajari, mencermati, menelaah bagaimana ia di tempa atau bagaimana ia menempa diri. Sehingga ia muncul sebagai figur anti mainstream.

Ia bukan tipikal figur instan yang terbentuk tiba-tiba. Pasti ada sebabnya karakter kepemimpinan seperti KDM pada akhirnya terbentuk.

KDM ditempa kaderisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bukan saja sebatas ikut pelatihan kader. Ia pernah meraih posisi Ketua Cabang. Cabang kecil: Purwakarta.

Tradisi HMI yang sangat kompetitif menjadikan posisi itu tidak mudah diraih. Harus melalui kompetisi yang ketat.

Organisasi itu memiliki doktrin mission yang harus dijalankan kader-kadernya. Ialah turut serta mewujudkan Indonesia adil-makmur, berdasarkan Pancasila yang diridhai Allah Swt. Ialah doktrin pembangunan peradaban dalam konteks ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman.

BACA JUGA :  KDM Kembali Pastikan Tak Akan Terima Parsel Lebaran IdulFitri

Maka perkaderan di HMI ditujukan membentuk “kader cita”. Juga disebut “Insan Cita”. Ialah insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Begitu kata doktrin organisasi itu.

Untuk mencapai karakter seperti itu kader-kader HMI dibekali melalui tempaan lima hal. Ialah dialetika ke-Islaman, intelektualisme, profesionalitas, ketrampilan politik dan leadership.

Islam merupakan ajaran final. Keyakinan final bagi muslim. “Innaddiina indallaahil Islam”. Agama yang diridhoi di sisi Allah Swt., adalah Islam. Ajaran itu didialektikakan dari berbagai sudut: doktrin dan rasionalitas sains. Untuk kemudian mencapai pemahaman utuh akan finalisasi ajaran Islam itu.

Doktrin HMI mengambil angle ajaran ke-Islaman dalam dua kategori besar. Manusia sebagai abdillah: hamba Allah. Kedua manusia sebagai khalifah fil ‘ard. Pemanggul tugas kepemimpinan di muka bumi.

Sebagai abdillah, ummat Islam memiliki tanggung jawab menyembah Allah Swt. Sesuai tata cara peribadatan formal diajarakan Rasulullah Saw. Sebagai khalifah fil ‘ard, ummat Islam memiliki tanggung jawab mengelola dan memakmurkan bumi. Melakukan inisiatif perbaikan mutu hidup bersama sesuai prinsip-prinsip ajaran Islam. Menjadi agen “Rahmatanl lil aalamin”. Doktrin ini menempatkan tanggung jawab peribadatan formal dan pembangunan peradaban memiliki bobot sama. Tidak terbelah dan terpisah-pisah.

Keakraban Kang Dedi Mulyadi dengan Sunda Wiwitan disalahpahami sejumlah pihak sebagai komplikasi spiritual. Sebenarnya bisa dipahami dari doktrin ajaran Islam.

BACA JUGA :  Anies, 'Oemar Bakri' dan Pendidikan untuk Orang Miskin

Pertama dari sudut inklusivisme Islam. Tidak ada pemaksaan “agama dalam Islam”.

Kedua, doktin “Rahmatanl lil aalamin” dalam menjalankan peranannya sebagai khalifah fil ‘ard. Sebagai strategi budaya dalam pembangunan peradaban.

Bagaimana dengan intelektualisme?. Ialah tempaan kepekaan daya nalar dalam memetakan beragam problem sosial sekitar. Untuk kemudian bekerja keras menjadi agen problem solver.

Perpaduan antara nalar kritisisme dalam fact finding dengan pengetahuan ilmu pengetahuan dan sains sebagai problem solver. KDM tampak berpegang pada doktrin ini.

Tidak membuat program dan kebijakan betumpu pada konsepsional teoritis belaka. Ia menjadi gubernur di wilayah Peradaban Sunda.

Maka ia jadikan kekuatan budaya sebagai salah satu instrumen penggerak perubahan. Ia membuat program dan kebijakan berbasis realitas.

Doktrin profesionalisme. Ialah doktrin perlunya skill (ketrampilan) aplikatif dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah fil ‘ard.

KDM melengkapi dirinya dengan ketrampilan komunikasi. Ia manfaatkan media sosial untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.

Ia tempa ketrampilan administrasi birokrasi. Melalui karir sebagai wakil bupati, bupati, anggota DPR dan kini gubenur.

Sedangkan doktrin leadership dan ketrampilan politik ialah peran sebagai khalifah fil ‘ard memerlukan keduanya. KDM menempa diri dalam leadership dan ketrampilan politik melalui proses panjang.

Semenjak kontestasi internal HMI, kontentasi menjadi wakil bupati, bupati, dan anggota DPR hingga kontestasi menjadi gubernur. Merupakan proses panjang dalam menempa dirinya dalam leadership dan ketrampilan politik.

BACA JUGA :  Menyebut Buzzer Sebagai Aktifis Fitnah

Proses tempaan panjang itu bisa diduga sebagai pembentuk karakter kepemimpinan yang melekat pada KDM. Ia bukan output dari proses instan kontestasi politik belaka.

Ia memiliki wawasan idiologis, wawasan theologis, sekaligus ketrampilan dalam politik dan kepemimpinan. Maka lahirlah ia sebagai pemimpin dengan penuh kekayaan inisiatif dalam menyelesaikan problem masyarakatnya. Ia tumbuh sebagai agen pembangunan peradaban itu sendiri.

Produktivitas inisiatif KDM tidak bisa dimatikan oleh black campaign terhadapnya. Setidaknya akan amat sulit untuk mematikan inisiatif-inisiatifnya.

Inisiatif itu ia gali dari suara bathin masyarakat. Mewakili gemuruh suara bathin masyarakat. Merupakan buah dari kemampuannya mengasah intelektualisme dalam fact finding sekaligus problem solver yang dipelajarinya dalam proses panjang. Maka ia memimpin melalui kemimpinan inisiatif. Keemimpinan ide.

Ia tipikal “kepemiminan inisiatif”. Ia kemudian diikuti banyak orang. Diterima khalayak luas. Berbeda dengan kepemimpinan birokrasional. Dipaksakan semata melalui birokrasi.

Melawan program dan kebijakan KDM sama artinya melawan gemuruh bathin masyarakat. “Kepemimpinan inisiatif” KDM bisa dimatikan melalui otoritarianisme dan kekerasan. Ketika ide-ide kreatif dipaksa berhenti oleh instrumen-instrumen kekerasan.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)