LAMPUNG – Lampung kembali diuji, antara peta, pernyataan resmi, dan bunyi gergaji mesin yang telanjur ramai di telinga publik. Kali ini, sorotan tertuju ke Sahbardong, Kabupaten Pesisir Barat.
Sebuah aktivitas penebangan kayu yang viral membuat masyarakat resah bukan karena kayunya mahal, melainkan karena ingatan kolektif mereka masih segar akan longsor, banjir, dan konflik satwa-manusia yang selalu datang belakangan.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung pun angkat bicara. Tenang, kata mereka. Lokasi penebangan itu di luar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Jaraknya bahkan disebut presisi sekitar 2,8 kilometer dari batas kawasan hutan. Aman secara peta. Aman secara regulasi. Setidaknya di atas kertas.
Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Yanyan Ruchyansyah, menjelaskan bahwa secara hukum, penebangan pohon di atas lahan hak milik tidak memerlukan izin, selama tidak berada di kawasan hutan lindung. Logikanya sederhana, kalau tanahmu, ya kayumu.
Masalahnya, publik tidak sedang membahas kepemilikan, melainkan dampak.
Apalagi, Yanyan juga mengakui satu hal kecil yang terdengar sepele tapi krusial, pemilik lahan belum diketahui secara pasti. Lahan dibeli dari seseorang yang mengaku sebagai pemilik. Jadi, kayu ditebang, hutan terbuka, tetapi siapa tuannya masih misteri.
Sebuah ironi agraria klasik, pohon sudah tumbang, data kepemilikan masih berdiri di tempat. Sementara birokrasi menelusuri peta dan dokumen, institusi lain bergerak lebih cepat tanpa seminar, tanpa dialog panjang.
Komandan Kodim 0422/Lampung Barat, Letkol Inf Rizky Kurniawan, langsung menginstruksikan Danramil dan Babinsa menghentikan aktivitas penebangan.
“Karena masyarakat sudah sangat resah. Mereka takut kejadian seperti bencana di tempat lain akibat hutan yang berubah fungsi,” tegasnya.
Di sinilah negara terlihat dalam dua wajah, satu sibuk mengukur jarak 2,8 kilometer, satu lagi memilih menghentikan gergaji sebelum jarak itu berubah menjadi jurang longsor.
Dinas Kehutanan pun akhirnya ikut mengambil langkah antisipatif, penghentian sementara aktivitas penebangan dan pembukaan pos pengaduan masyarakat. Langkah yang patut diapresiasi, meski publik diam-diam bertanya, mengapa harus menunggu viral dulu?
Isu ini kemudian dibedah dalam Dialog Lingkungan bertema “Penegakan Hukum dalam Praktik Illegal Logging di Lampung untuk Mewujudkan Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera”, yang digelar Hima Sylva Universitas Lampung, Sabtu (13/12/2025).
Hadir akademisi, aktivis, media, dan mahasiswa kombinasi klasik yang biasanya lahir saat hutan sudah keburu terancam.
Diskusi mengurai benang kusut persoalan kehutanan Lampung, dengan mengaitkannya pada bencana ekologis di Sumatra Utara, konflik gajah-manusia di Way Kambas dan TNBBS, serta pertanyaan lama yang belum usai, di mana batas antara legalitas dan kelalaian?
Sejumlah catatan kritis mengemuka:
- Fragmentasi Habitat
Hutan yang terpotong-potong bukan sekadar soal luas, tapi soal ruang hidup. Satwa kehilangan jalur, manusia kehilangan penyangga bencana. - Kesenjangan Data
Peta negara dan temuan lapangan sering tidak saling sapa. Mahasiswa diingatkan untuk tidak menjadikan satu sumber sebagai kitab suci. - Aksi Nyata vs Imbauan
Peringatan dini tidak cukup bila gergaji terus berbunyi. Penghentian langsung oleh TNI menjadi contoh respons operasional yang konkret. - Bencana Bukan Takdir
Mahasiswa menolak narasi pasrah. Longsor dan banjir bukan murka alam, melainkan akumulasi keputusan manusia. - Kecepatan Negara
Viral seharusnya bukan sirene darurat. Hutan rusak pelan-pelan, tapi dampaknya datang serentak.
Aktivis lingkungan Almuhery Ali Al Paksi mengajak publik ikut turun tangan. “Mari kita buktikan bersama, apakah penebangan ini benar di lahan pribadi atau hanya ‘katanya’ pribadi,” ujarnya, setengah mengajak, setengah menyindir.
Dialog ditutup dengan pernyataan sikap bersama yang lugas dan tanpa basa-basi:
Bencana bukan takdir, melainkan hasil kelalaian manusia dalam menjaga hutan.
Peserta menuntut transparansi perubahan luasan kawasan hutan, penegakan hukum hingga ke aktor intelektual yang menikmati keuntungan, serta keterlibatan aktif mahasiswa dan masyarakat dalam pengawasan kebijakan kehutanan.













