Scroll untuk baca artikel
Opini

KDM Alat Pukul Elitisisme dan Birokratisisme

×

KDM Alat Pukul Elitisisme dan Birokratisisme

Sebarkan artikel ini
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi saat Rapat Paripurna Hari Jadi ke – 111 Kota Sukabumi di Gedung DPRD Kota Sukabumi, Kamis (10/4/2025).
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi saat Rapat Paripurna Hari Jadi ke – 111 Kota Sukabumi di Gedung DPRD Kota Sukabumi, Kamis (10/4/2025).

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – KDM Alat Pukul Elitisisme dan Birokratisisme. KDM sebutan populer bagi Dedi Mulyadi. Gubernur Jawa Barat. Ia kini begitu dicintai masyarakat luas. Bukan saja rakyat Jawa Barat. Melainkan merembet ke rakyat di daerah-daerah lain. Layaknya virus merembet dan menjalar ke semua arah.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

KDM Alat Pukul Elitisisme dan Birokratisisme. Komentar-komentar apresiatif datang di beranda media sosialnya berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Bermunculan beragam satir.

Meminta kapolri mencopot Dedi Mulyadi dari Gubernur Jawa Barat. Untuk dipindah dijadikan sebagai gubernur di daerahnya.

Dedi Mulyadi memicu “kecemburuan sosial”. Ada kehadiran sosok pelayan rakyat dengan banyak inisiatif problem solver.

Sementara daerah lain dihadapkan kelangkaan dari figur semacam itu. Rakyat di luar Jawa Barat dibuat iri hati atas kehadiran KDM. Begitu kata satir-satir itu.

Inisiatif KDM dalam menyajikan problem solver menuai partipasi sukarela dari berbagai kalangan. Khususnya para netizen.

Kebijakannya melarang “pesta wisuda” lulusan SD-SMP-SMA ditentang seorang bintang iklan pinjol. Perlawanan bintang iklan itu justru dilawan balik secara massive dari netizen.

BACA JUGA :  Dicintai Rakyat, Dimusuhi Politisi dan Pejabat

Program Pendidikan Karakter KDM dengan membawa anak-anak bengal ke barak militer juga dilawan banyak pihak. Perlawanan itu juga dilawan balik oleh pasukan netizen secara sukarela.

Pejabat pusat, anggota legislatif, tokoh-tokoh nasional, yang melawan kebijakan KDM dilawan balik. KDM tetap tidak bisa ditumbangkan.

Pertanyaannya adalah bagaimana menjelasakan “fenomena KDM” ini. Benarkah KDM melakukan pencitraan? Mencari panggung kepopuleran melalui media sosial. Atau karena ada sebab lain?.

Pencitraan merupakan instrumen agenda pragmatis. Jika agenda itu diraih, biasanya pencitraan itu berhenti. Baru menjelang momentum politik berikutnya, agenda itu dihidupkan kembali.

Pilgub Jawa Barat sudah selesai. Target yang diraih sudah tepenuhi. Agenda para penyuka pencitraan biasanya melakukan “operasi senyap” untuk balik modal.

KDM tidak tampak sebagaimana kasus itu. Perilakunya konsisten sejak jauh ia menjadi Bupati Purwakarta. Ia gunakan kepopulerannya di media sosial sebagai sarana publikasi jejak langkah kebijakan-kebijakannya.

Alat publikasi penyelesaian beragam problem yang dihadapi masyarakat. Maka tudingan sebagai “gubernur konten”, pencitraan, pansos, dan seterusnya tidak diaggap sebagai realitas. Justru bermunculan beragam pembelaan partisipatif dari segenap netizen.

Lantas apa yang bisa menjelaskan fenomena kemunculan KDM itu. Ialah titik temu antara idealisme pada sosok KDM dengan kebutuhan rakyat akan senjata perlawanan.

BACA JUGA :  Ridwan Kamil : Memaksa Mudik, Indonesia Terancam Seperti India

Rakyat memerlukan senjata perlawanan dari ketidakberdayaan koletif. Dalam melawan elitisisme dan birokratisme yang selama ini membuatnya tidak berdaya.

Elitisisme adalah pandangan bahwa hanya sekelompok kecil orang yang dianggap (menganggap dirinya) “elit” saja yang lebih memiliki privilage dalam memimpin maupun mengambil keputusan untuk orang banyak.

Anggapan kelayakan itu bisa datang dari beragam faktor. Kekayaan, pendidikan, kecerdasan, kekuasaan, atau status sosial. Bisa riil, bisa hanya sebuah citra. Mereka dianggap lebih layak memimpin, memengaruhi keputusan, atau menerima hak istimewa dibanding masyarakat luas.

Elitisisme memiliki ciri-ciri kepercayaan nyaris absolut pada imaginasi superioritas segelintir orang. Bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang kompeten dan bisa membuat keputusan. Cenderung meminggirkan rakyat biasa.

Bias terhadap status sosial. Orang dengan gelar, jabatan atau koneksi sosial lebih dihargai dan dianggap paling berhak mengambil keputusan untuk kebanyakan orang. Tertutup dan eklusif. Menjaga jarak dari publik dan sulit diakses masyarakat luas. Kecuali punya orang dalam.

Birokratisisme adalah kecenderungan suatu sistem pemerintahan atau organisasi untuk terlalu bergantung pada aturan, prosedur, dan hierarki formal. Proses menjadi lambat, kaku, dan tidak efisien.

BACA JUGA :  KDM Paparkan Konsep Pembangunan Berbasis Budaya saat Isi Kuliah Umum di UI

Ciri-cirinya terlalu banyak prosedur dan aturan. Hierarkinya kaku. Dokumentasi formal secara berlebihan (untuk pencitraan). Kurang inovasi dan fleksibilitas.

Rakyat selama ini terpenjara oleh dua budaya itu. Elitisisme dan biokratisme. Rakyat dibuat tidak berdaya oleh keduanya. Rakyat hanya dibutuhkan untuk memperoleh dukungan suara politik. Setelah itu pejabat yang bersangkutan kembali kedalam cangkang elitisisme dan biroratisme.

KDM melabrak dua tradisi itu. Ia mendekat dan tetap membuka saluran dari rakyat yang dilayaninya. Ia datangi masalah yang ada di tengah-tengah rakyat. Ia selesaikan secepatnya. Birokrasi yang selama ini menjadikan proses penyelesaian masalah lamban, ia labrak.

Rakyat kemudian melihat langkah KDM sebagai teman dalam membebaskan dirinya dari kungkungan elitisme dan birokratisme itu. Maka rakyat kemudian tergerak secara partisipatif mendukung KDM.

Rakyat menemukan alat perlawanan terhadap elitisisme dan birokratisisme. Selama ini dua tradisi ini menjadi penjara bagi rakyat kebanyakan. Mereka ingin keluar dari penjara itu. Mereka melihat KDM bisa menjadi alat pukulnya.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)