Scroll untuk baca artikel
Lintas Daerah

KDM: Gerakan Poe Ibu, Tradisi Gotong Royong Lama yang Didaur Ulang dengan Branding Baru

×

KDM: Gerakan Poe Ibu, Tradisi Gotong Royong Lama yang Didaur Ulang dengan Branding Baru

Sebarkan artikel ini
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat hadir di Kota Bekasi, pada Jumat 7 Maret 2025 - foto Rocky
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat hadir di Kota Bekasi, bersama kepala daerah di wilayah Bodebek pada Jumat 7 Maret 2025 - foto Rocky

DEPOK — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi punya kebiasaan unik menghidupkan kembali tradisi lama tapi dikemas seperti aplikasi baru. Kali ini namanya Gerakan Poe Ibu, sebuah inisiatif sosial yang katanya bukan program baru, tapi “update sistem” dari semangat gotong royong yang sudah diwariskan nenek moyang, jauh sebelum istilah transfer digital dan crowdfunding jadi keren.

“Tapi beberapa masyarakat salah paham, seolah-olah saya mau ngumpulin uang seribu per orang, padahal tidak ada. Ini cuma imbauan agar masyarakat kembali peduli,” ujar KDM sapaan yang kini lebih dikenal di medsos ketimbang di papan nama kantor gubernur pada Rabu (8/10/2025).

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Menurut Dedi, gerakan ini sejatinya adalah versi modern dari budaya jimpitan, beras perelek, hingga Gasibu (Gerakan Sehari Seribu), yang dulu dijalankan dengan prinsip sederhana: saling bantu tanpa ribet laporan Excel. Bedanya, kini ia ingin semua itu “terdata, transparan, dan terdigitalisasi.”

“Saya ingin ada regulasi, supaya jelas uang masuk berapa, keluar berapa. Jadi bukan sekadar gotong royong manual, tapi gotong royong 5G,” katanya setengah serius, setengah berpromosi.

Gerakan Poe Ibu disebut akan menyalurkan dana langsung dari level RT/RW hingga kabupaten/kota untuk membantu warga di bidang pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sosial lain yang sering kali “tak masuk daftar APBD.” Karena, seperti kata KDM, anggaran daerah memang sudah besar, tapi masalah rakyat lebih cepat berkembang daripada tabel anggaran.

Sebagai contoh, Dedi menunjuk Bale Pananggeuhan di Gedung Sate semacam pos curhat rakyat yang menerima pengaduan masyarakat secara langsung. “Dana operasionalnya dari Gerakan Sehari Seribu para ASN. Jadi ASN ikut patungan, rakyat ikut terbantu, dan pemerintah terlihat hadir,” ujarnya.

Namun, Dedi juga mengingatkan bahwa “hadir” di sini bukan berarti muncul di media sosial. “Kalau warga sudah terpaksa ngadu di medsos, itu tandanya sistem pemerintahan kita sedang cuti. Makanya saya minta RT, RW, bupati, wali kota, semua buka ruang pengaduan,” tegasnya.

Selain memperkuat kanal aduan digital seperti SP4N Lapor dan Sapawarga, gerakan ini juga diharapkan mampu menyalurkan “energi sosial” warga yang kerap tersimpan di status WhatsApp dan kolom komentar.

Menariknya, gerakan ini disambut hangat oleh masyarakat akar rumput yang memang sudah lebih dulu melakukannya. Di Garut, misalnya, Yayasan Amal Qoryatul Mobarokah sudah menjalankan gerakan “seribu sehari” sejak 2023 tanpa edaran, tanpa konferensi pers, tanpa logo Pemprov.

“Setiap Jumat, kami keliling dua RW ngumpulin kenclengan. Dalam seminggu bisa terkumpul Rp2 juta,” kata Ida, pengurus yayasan. Dana itu digunakan untuk membeli lahan pemakaman, membantu anak sekolah, panti jompo, sampai ongkos berobat warga. Sederhana tapi nyata.

Kini, setelah Gerakan Poe Ibu viral, banyak RW di sekitar Garut mulai meniru. Bahkan, perwakilan Kementerian Sosial datang meninjau untuk membantu legalitas yayasan. “Gerakan Poe Ibu makin bikin kami semangat. Selama ini kami bergerak tanpa pamrih, sekarang rasanya didukung,” ujar Ida.

Di satu sisi, langkah KDM ini menunjukkan bahwa kadang solusi sosial tidak harus selalu datang dari big data, cukup dari kaleng bekas biskuit yang diisi receh dengan niat baik. Tapi di sisi lain, ada juga yang menganggap ini sebagai cara elegan pemerintah “menyentuh hati rakyat” tanpa harus menambah baris anggaran baru.

Apa pun pandangannya, satu hal jelas di Jawa Barat, gotong royong kini punya surat edaran resmi.***

SHARE DISINI!