BANDUNG — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan, guru bukan algojo. Melalui Surat Edaran (SE) terbaru, ia melarang keras segala bentuk hukuman fisik terhadap siswa. Pendidikan, kata Dedi, harus melahirkan kesadaran bukan lebam di pipi.
Larangan itu muncul setelah insiden di Subang, ketika seorang guru menampar muridnya yang melanggar aturan sekolah. Reaksi orang tua pun cepat mungkin lebih cepat dari nilai rapor anaknya hingga kasus itu mencuat ke publik.
“Kalau anak salah, hukumannya jangan pakai tangan. Pakai sapu boleh, tapi untuk nyapu halaman sekolah,” ujar Dedi dengan gaya khasnya yang nyeleneh tapi menohok.
Ia menambahkan, bentuk hukuman seharusnya bersifat edukatif, seperti mengecat tembok, membersihkan kaca, atau mengurus sampah sekolah. “Itu lebih mendidik, dan hasilnya sekolah juga jadi bersih,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Jabar, Herman Suryatman, memastikan surat edaran tersebut sudah dikirim ke seluruh satuan pendidikan di Jawa Barat dari SD hingga SMA/SMK, termasuk madrasah di bawah Kementerian Agama.
Menurut Herman, zaman sudah berubah. Cara mendidik pun harus ikut berevolusi. “Kita tidak sedang hidup di era papan tulis dan penggaris rotan,” katanya.
“Penyelesaian masalah anak-anak sekarang harus edukatif, bukan emosional. Hukuman itu boleh, asal mendidik — bukan menyakiti.”
Ia mengingatkan, anak-anak kini hidup di dunia dua dimensi, nyata dan digital. “Kalau pendekatannya masih keras, bisa-bisa anak-anak lebih percaya konten motivasi TikTok daripada nasihat guru,” ujarnya, separuh serius, separuh miris.
Bagi Herman, kolaborasi adalah kuncinya. Guru, orang tua, dan pemerintah harus bergandeng tangan bukan mengangkat tangan. “Kita ingin sekolah jadi tempat belajar, bukan ring tinju,” tegasnya.
Kebijakan ini diharapkan menjadi momentum bagi dunia pendidikan Jabar untuk kembali ke esensi: menumbuhkan manusia yang berpikir dan berperasaan, bukan hanya patuh karena takut.***












