Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Presiden Prabowo mengemukakan obsesinya. Membangun tiga juta rumah untuk keluarga kurang mampu. Itu setiap tahun.
Total 15 juta rumah dalam 5 tahun. Begitu menurut berita yang beredar.
Ara, sapaan akrab Menteri Perumahan membuat gebrakan. Ia sumbangkan tanahnya seluas 2,5 ha. Untuk dibangun rumah oleh dukungan swasta.
Ia juga punya ide. Tanah sitaan dari koruptor dibangun perumahan rakyat.
Agar harga rumah terkontrol. Tidak melambung sebagaimana selama ini. Ia membuka paratisipasi pengusaha untuk mewujudkan ambisi itu.
Belum tampak ide lain dari Ara itu. Fokusnya berputar pemenuhan target.
Pemanfaatan lahan sitaan koruptor belum bisa dipastikan. Berapa banyak. Berapa mampu menjadi variable penting menurunkan harga rumah. Masih belum terjawab.
Mencermati strategi Orde Baru. Pembangunan perumahan haruslah hulu-hilir. Pemerintah mendorong pembangunan industri bahan baku. Pabrik semen, kayu, besi dan lain-lainya.
Ketika industri bahan rumah tumbuh kompetitif, produksinya akan masal. Harga menjadi murah.
Presiden Soeharto getol mendorong riset desain perumahan berbahan murah. Ia membuat percontohan rumah bertingkat berbahan Bermis.
Ialah beton ringan dan Batu Pamis. Batu Pamis adalah batu apung yang banyak ditemukan di Sukabumi.
Presiden Soeharto juga memerintahkan Menteri Perindustrian. Agar Krakatau Steel membangun model kerangka-kerangka rumah dari besi. Melalui model yang seragam. Efisien secara biaya.
Contohnya bangunan Masjid Yasayan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Ukuran dan modelnya seragam. Berbagai ukuran. Harganya menjadi bisa ditekan.
Selain mendorong partisipasi swasta, pemerintah membangun perumahan secara massal. Melalui Perum Perumnas.
Selama periode 1978-1983, membangun 209.872 unit. Selama pemerintahan Presiden Soeharto Perumnas membangun 441.923 unit.
Periode 1978-1983 Perum Perumnas menjadi perintis munculnya kawasan pemukiman penduduk kalangan menengan ke bawah. Melalui kebijakan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah).
Presiden Soeharto juga membuat kebijakan pembangunan perumahan berkeadilan sosial. Mewajibkan konsep 1-3-5 bagi pengembang besar.
Setiap membangun satu rumah mewah, harus pula membangun 3 rumah tipe sedang. Juga 5 rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Tidak diberi ijin pembangunan jika tidak memiliki planning penerapan konsep itu.
Kabinet Presiden Prabowo belum tampak secara kuat mengajukan konsep hulu-hilir. Bahkan target tiga juta pertahun saja masih dianggap ambisius.
Ada yang bertanya. Setiap menit harus membangun berapa rumah?. Apalagi menyediakan rumah dengan harga terjangkau. Dalam jumlah massal.
Satu lagi. Kebijakan perumahan dari waktu ke waktu masih fokus soal target jumlah. Belum diiringi kebijakan perlindungan dan pelestarian arsitektur rumah Nusantara.
Aceh sampai Papua kita memiliki kekayaan arsitektural rumah dan bangunan. Ada rumah Aceh. Batak. Gadang. Joglo. Pendopo. Rumah Bali, NTT, Lamin. Dll.
Andai saja kekayaan arsitektural itu secara disiplin diakomodasi dalam kebijakan perumahan. Setiap menjejakkan kaki pada masing-masing provinsi. Kita akan digiring memasuki “dunia lain”.
Disajikan corak rumah berbeda. Cultural tour yang mengasikkan. Berbasis arsitektur bangunan Nusantara.
Akibat fokus orientasi target an sich, bangunan perumahan kita relatif seragam. Rumah-rumah berbentuk flat berbahan beton. Dari Aceh sampai Papua sama. Bahkan bangunan-bangunan pemerintah bercorak modern. Seragam.
Hanya sejumlah kecil daerah, bangunan publiknya diberi aksen arsitektur lokal. Bisa saja arsitektur rumah Nusantara kelak akan hilang. Dari tempat rumah itu berasal.
First Lady Presiden ke-2 RI, Ibu Tien. Mungkin membaca kecenderungan itu. Akan hilangnya kekayaan arsitektural rumah dan bangunan Nusantara. Dari tanah asalnya. Maka ia bikin protipe semua rumah dan bangunan Nusantara di TMII.
Pemerintahan Presiden Prabowo seharusnya belajar dari masa-masa sebelumnya. Mempercepat target pembangunan perumahan. Dengan harga terjangkau. Berkeadilan sosial.
Maka perlu dibenahi industri perumahan hulu-hilir. Dibuat riset desain dan bahan baku peruhaman yang murah dan terjangkau. Begitu pula kebijakan penyediaan lahan.
Komposisi antara perumahan elit dan rumah murah perlu dibuat kebijakan. Begitu Pula konsep pembangunan perumahan berkeadilan sosial.
Arsitektural rumah dan bangunan Nusantara perlu dilindungi. Pembangunan rumah dan gedung pada masing-masing daerah perlu mengakomodasi arsitektur lokal.
Jika tidak semua, tentu bisa diwujudkan dalam prosentase tertentu. Agar kekayaan arsitektur Nusantara bisa tetap dipelihara.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 09-11-2024