TANGGAMUS – Masyarakat Adat Marga Buay Belunguh akhirnya kehilangan kesabaran terhadap apa yang mereka sebut sebagai manuver setengah hati Pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam penyelesaian sengketa tanah eks PT Tanggamus Indah (TI).
Setelah berkali-kali menggedor pintu dialog, kini mereka beralih menggedor rem mobil Forkopimda. Puncak kekecewaan itu meletup pada Rabu (29/10/2025). Rombongan Forkopimda yang hendak melakukan tinjauan lapangan ke Pekon Tanjung Anom justru ditinjau balik oleh masyarakat adat dengan gaya paling sederhana namun efektif yakni pemblokiran jalan.
Hasilnya? Agenda penting itu kandas sebelum sempat turun dari kursi empuk kendaraan dinas.
Ketua Harian Adat Marga Buay Belunguh, Azhari Gelar Dalom Pemangku Marga, menegaskan bahwa masyarakat bukan menolak musyawarah. Hanya saja, mereka heran mengapa setiap rapat strategis mengenai tanah adat adatnya tidak diundang.
“Seandainya pemerintah mau tanah kita, ayo kita musyawarahkan. Tapi yang punya tanah malah tidak dipanggil. Ya beginilah jadinya,” ujar Azhari, sembari bertanya-tanya apakah undangannya hilang di perjalanan atau sengaja diselipkan di laci birokrasi.
Dalom Azhari juga menyinggung logika sederhana: pemilik tanah kok malah jadi penonton. Instansi lain boleh duduk manis di meja rapat, sementara pihak adat hanya diberi jatah mendengar kabar dari luar ruangan.
Mengenai legalitas tanah, Azhari menepis anggapan bahwa klaim adat hanya berdasarkan “cerita turun temurun”. Semua dokumen resmi dari era kolonial Belanda, katanya, masih tersimpan baik, lengkap dengan bukti kemenangan sengketa sebelumnya di Pengadilan Kalianda. Artinya, sejarah sudah bicara hanya saja pemerintah tampaknya belum sempat mendengarkan.
Azhari mengungkapkan bahwa pihak adat sejak dulu sudah membuka pintu dialog. Mereka sudah bertemu Bupati, Kapolres, Forkopimda silakan pilih daftar pejabat yang pernah tersenyum di depan kamera dan berkata “akan ditindaklanjuti”.
“Ini yang saya salahkan Pemda, ada apa sebenarnya? Kami sudah berkomitmen, ini harga mati. Mati pun kami siap mempertahankan tanah ini,” tegasnya, mengingatkan bahwa meskipun birokrasi bisa alot, semangat mempertahankan hak tidak bisa dibekukan hanya dengan notulen rapat.
Jika pemerintah benar-benar ingin meredam konflik, resepnya sederhana: jangan bahas tanah adat tanpa adat. Sebab warga Marga Buay Belunguh sudah memberi peringatan paling jelas hari ini, kalau suara mereka diabaikan di ruang rapat, mereka akan bicara di jalan raya.***















