JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) kembali menggelar jurus diplomasi langit. Kali ini, para ahli falak dari negara-negara ASEAN dikumpulkan dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) Hisab Rukyat 2025 yang akan berlangsung di Wajo, Sulawesi Selatan, pada 20–22 Desember 2025. Tujuannya bukan sekadar melihat bulan sabit, tetapi mencoba menyatukan cara melihatnya secara ilmiah, fikih, dan tentu saja, dengan data yang sama.
Bimtek ini dirancang sebagai forum ilmiah lintas negara, tempat santri, akademisi, praktisi hisab rukyat, astronom amatir, aparatur Kemenag, hingga delegasi negara ASEAN duduk satu meja. Bukan untuk berdebat apakah hilal “terlihat oleh mata batin”, melainkan untuk memastikan bahwa perhitungan dan pengamatan dilakukan dengan standar yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Forum ini menghadirkan pakar falak nasional serta perwakilan negara-negara anggota MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Materi yang dibahas mencakup konsep dasar ilmu falak, implementasi Kriteria MABIMS, teknik observasi hilal, hingga pemanfaatan teknologi pengolahan citra digital karena di era kamera beresolusi tinggi, klaim “melihat” tentu tak cukup hanya dengan menunjuk langit.
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Kemenag, Arsad Hidayat, menegaskan bahwa pelibatan negara-negara ASEAN merupakan langkah strategis Indonesia dalam mendorong harmonisasi kalender Hijriah di kawasan. Sebab, perbedaan awal Ramadan atau Idulfitri sering kali lebih ribut di media sosial daripada di ruang ilmiah.
“Forum ini kami rancang bukan hanya sebagai pelatihan teknis, tetapi sebagai wadah membangun jejaring keilmuan falak ASEAN agar keputusan keagamaan didasarkan pada data ilmiah yang sama,” ujar Arsad, kemarin.
Menurutnya, penguatan jejaring regional menjadi penting karena persoalan hisab rukyat tak mengenal garis batas negara. Hilal yang muncul di ufuk Indonesia tidak otomatis berhenti di perbatasan imajiner.
Karena itu, Kriteria MABIMS sebagai rujukan regional perlu dipahami secara utuh baik dari perspektif fikih maupun astronomi modern agar tidak sekadar menjadi dokumen resmi yang dibaca saat rapat, lalu ditafsirkan berbeda di lapangan.
“Dengan pemahaman ilmiah yang kuat, perbedaan dapat dikelola secara akademik, bukan dipertentangkan,” tambahnya, sebuah pesan halus agar diskusi soal hilal tetap berlangsung di observatorium, bukan di kolom komentar.
Selain memperkuat jejaring regional, Bimtek ini juga diarahkan untuk membangun ekosistem ilmu falak nasional yang berkelanjutan. Kolaborasi antara pesantren, perguruan tinggi, dan pemerintah dinilai krusial untuk mencetak sumber daya manusia falak yang tidak hanya piawai menghafal rumus, tetapi juga terampil mengoperasikan instrumen dan menganalisis data astronomi.
Materi pembekalan meliputi kajian batas kecerlangan hilal, rujukan astronomi global seperti konsep elongasi minimal, hingga praktik penggunaan instrumen observasi modern. Dengan kata lain, peserta diajak berdamai dengan fakta bahwa bulan tidak selalu mau “hadir tepat waktu” sesuai harapan kalender.
Rangkaian kegiatan mencakup pemaparan teori oleh pakar falak nasional, studi kasus implementasi Kriteria MABIMS, workshop instrumen observasi, praktik rukyatul hilal di lapangan, hingga diskusi evaluatif untuk merumuskan tindak lanjut penguatan ilmu falak.
Kunjungan akademik ke perguruan tinggi juga dijadwalkan guna mempererat kerja sama kelembagaan lintas negara.
Melalui kegiatan ini, Kemenag menargetkan terbentuknya jejaring kerja sama falak antarnegara ASEAN, peningkatan kapasitas peserta dalam teori dan praktik hisab rukyat, serta lahirnya rekomendasi strategis pengembangan ilmu falak di lembaga pendidikan dan pesantren.
Indonesia pun berharap dapat memperkuat posisinya sebagai pusat rujukan falak modern di kawasan tempat melihat hilal dengan mata, akal, dan data yang sama.***













