Jika representasi itu mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi dan penderitaan rakyat, umumnya mahasiswa mengambil posisi pragmatis dalam aktifitasnya.
Namun, sebaliknya, jika penderitaan rakyat semakin parah dan perwakilan rakyat kurang memperjuangkan, tentu saja mereka akan muncul sendiri mewakili penderitaan rakyat itu.
Fenomena gerakan mahasiswa belakangan ini, antara lain, menolak revisi UU KPK (2019), menolak RUU Omnibuslaw (2020), menolak isu Talibanisasi KPK (2021) dan sekarang isu kenaikan BBM memperlihatkan mahasiswa tampil sebagai Avant Garde.
Baca Juga : Imbas Kenaikan BBM, Angkot di Tanggamus Mogok Tuntut Ongkos Naik Rp5000
Artinya, mereka mempertaruhkan reputasi kesejarahannya, bukan sekedar kepentingan dirinya yang terganggu. Analisa kesejarahan biasanya dibarengi dengan analisa kelas, di mana mahasiswa dianggap bagian kelas menengah.
Dalam dialektika Marxian, yang membuat sebuah pemberontakan adalah terganggunya kepentingan material kelas tersebut.
Namun, dulu berbagai New Social Movement theory, perjuangan “beyond Social Class”, dapat dipahami, yakni perjuanganan mahasiswa lebih besar dari kepentingan dirinya sendiri.
Arah gerakan mahasiswa umumnya tarik menarik antara afiliasinya dan misi suci gerakan itu sendiri.
Dari sisi afiliasi, gerakan mahasiswa saat ini, terjadi bukan saja oleh mahasiswa intra kampus, atau BEM, melainkan juga oleh mahasiswa kelompok Cipayung (GMNI, PMII, HMI dll).
Kelompok Cipayung ditenggarai selama ini berafiliasi secara ideologis dengan kelompok sosial yang lebih besar, bahkan partai.
Namun, sejatinya mereka dapat berseberangan dengan afiliasi mereka, seperti tahun 1965 dan 1998.
Apalagi, dalam situasi era digital saat ini, difahami bahwa loyalitas mahasiswa pada afiliasi vertikal dapat dikalahkan oleh kolaborasi diantara mereka dan kepentingan rakyat.
Kasus kenaikan BBM saat ini begitu buruk, baik dari sisi kepentingan mahasiswa atas masa depan mereka, yakni semakin suram karena beban biaya hidup dan semakin banyaknya PHK, maupun kehidupan rakyat yang semakin sengsara.
Di sisi lainnya, wakil rakyat dan elit-elit bangsa tidak memperlihatkan sensitivitas, misalnya ada pejabat kepolisian yang dibully nitizen karena memakai baju seharga Rp 7-10 juta, ditengah kemiskinan rakyat.
Apalagi kasus Sambo yang menggemparkan Indonesia, bahwa supermasi hukum sudah berubah jadi mafia hukum dan kekerasan.
Menaikkan BBM dalam masa sulit dikalangan buruh, tani dan rakyat miskin kota, khususnya ketika pandemi Covid-19 baru hampir usai, sangatlah tidak tepat. Alasannya pun tidak tepat.
Pernyataan Puan Maharani misalnya bahwa kenaikan BBM untuk kesejahteraan rakyat dimaknai ingkar terhadap penolakan Puan atas kenaikan BBM era SBY.
Justru rakyat semakin susah atas kenaikan harga-harga menyusul beberapa saat lagi, sekaligus hancurnya daya beli.
Maka kita akan melihat gerakan mahasiswa akan menemukan sejarahnya sendiri, sebagaimana Akun istagram @gejayanmemanggil, 6 september 2022, yang dikutip CNN Indonesia, “Arahkan amarahmu, buat titik api di sekitarmu”. Ini adalah bahasa pemberontakan.
Mari kita berdoa, agar gerakan mahasiswa berjalan dengan baik, untuk kepentingan rakyat jelata dan dalam lindungan Allah SWT.
Dr. Syahganda Nainggolan, Dosen Fisip UMJ. ***